Senin, 12 Oktober 2009

ASWAJA

Kemaren, teman-teman PMII mengundang saya untuk berbicara tentang ASWAJA, yang merupakan kependekan dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Pembicaraan tentang ASWAJA merupakan suatu hal yang harus dikemukakan di depan kader-kader PMII. Sebab menurut mereka ASWAJA merupakan tolak ukur sejati bagi kader untuk menjadi kader PMII.

Namun apa sebetulnya ASWAJA? Kenapa perdebatan tentang ASWAJA muncul? Lalu apa yang menjadi cikal bakal kemunculan ASWAJA itu sendiri?

Sebetulnya munculnya perdebatan ASWAJA itu diawali dari hadist nabi yang menyatakan bahwa umat islam di akhir jaman akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Dari 73 golongan itu yang selamat hanya satu, yakni ahlus sunnah wal jamaah.

Di waktu itu shahabat bertanya; siapa gerangan yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jamaah itu?

Nabi kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jamaah itu adalah orang-orang yang mengikuti beliau dan sahabat-sahabat nabi.

Janji bahwa yang selamat hanya ahlus sunnah wal jamaah inilah yang kemudian timbul saling klaim bahwa golongan dirinyalah yang paling pantas disebut sebagai golongan ahlus sunnah wal jamaah. Di kemudian hari, klaim ahlus sunnah wal jamaah dialamatkan kepada kelompok yang disebut dengan sunni (orang-orang yang mengikuti sunnah nabi). Tentu pengalamatan ini dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku sunni.

Kelompok sunni ini dalam realita sehari-hari sering dipertentangkan oleh pengikut sunni dengan kelompok yang mengikuti sayyidina ali, yakni si'i (syiah). Hal ini sangat kentara bila kita melihat kenyataan yang terjadi di Irak dan Iran. Kalau di Indonesia, pertentangan ini tidak sampai menimbulkan konflik horizontal seperti yang terjadi di Irak dan Iran.

Kalau kita kaji, konflik horizontal itu merupakan konflik yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan agama. Apa yang terjadi di Irak dan Iran menyiratkan sebuah konflik politik. Yang muncul di televisi-televisi menunjukkan petanda akan hal itu. Yang menjadi perebutan mereka adalah wilayah.

Mungkin, hal ini juga akibat masa lalu atau dosa sejarah. Yang menjadi penyebab konflik munculnya golongan-golongan dalam keagamaan bukan persoalan perbedaan paham keagamaan tapi perebutan kekuasaan atau akses kehidupan.

Dalam sejarahnya, munculnya demarkasi antara golongan sunni dan golongan syi'ah dipicu oleh persoalan kepemimpinan. Ketika nabi meninggal, sayyidina umar memunculkan gagasan bahwa kepemimpinan umat muslim harus tetap berlanjut jangan sampai terjadi kekosongan kepemimpinan.

Setelah urun rembuk dengan berbagai pertimbangan akhirnya abu bakarlah yang terpilih menjadi khalifah Nabi. Waktu itu, menurut Thabatabai (salah seorang ulama syiah yang kesohor sebagai ahli tafsir), Ali masih dalam suasana duka dan masih mengurus penguburan nabi. Ternyata di belakang sudah ada suksesi kepemimpinan. Otomatis Ali tidak dilibatkan dalam soal kepemimpinan ini.

Orang-orang yang simpati kepada Ali merasa sakit hati dengan peristiwa ini. Karena menurut pengakuan mereka, bahwa nabi sebetulnya sudah menunjuk bahwa pengganti dirinya adalah Ali. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa di suatu saat, di bukit yang bernama Ghadirhum, nabi menyatakan bahwa yang akan mengganti saya adalah Ali. Dan ini diungkapkan di depan banyak orang.

Akhir cerita, polarisasi pertama kali dalam islam ini memunculkan konflik politik dan keagamaan yang berkepanjangan dalam dunia Islam. Sehingga persoalan ini merembet kepada persoalan ahlus sunnah wal jamaah.

Sekian dulu