Minggu, 08 November 2009

TIRAKAT = PENYATUAN DENGAN TUHAN

Ada sebuah pertanyaan sederhana yang cukup untuk menjadi bahan perenungan. Pertanyaannya adalah kalau memang kehendak manusia (semua manusia) adalah ungkapan kehendak Allah, lalu kenapa untuk mencapai Allah, manusia perlu tirakat dan meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi? Dengan kata lain, kenapa manusia harus banyak mengekang kehendak dan keinginannya untuk menyatu dengan Tuhan?

Tirakat merupakan laku yang harus dijalani oleh seseorang untuk tujuan yang beragam. Diantaranya dan ini yang paling banyak tujuan yang dicari oleh ahli tirakat adalah untuk mendapatkan kesaktian dan benda-benda keramat lainnya.

Tujuan tirakat yang paling utama yang terdapat dalam hampir semua agama adalah menyatu dengan tuhan-Nya. Dalam sejarah agama-agama (pandangan hidup seseorang), banyak cerita tentang tirakat dalam rangka penyatuan ini. Buddha dengan semedinya. Rasul Muhammad dengan gua Hiro-nya. Plato dengan perenungan-perenungan dan pengasingannya. Martin Heidegger (seorang filosof jerman) dengan pengasingannya di rumah terpencil. Dan sunan Kali Jogo dengan tongkat di pinggir sungai.

Tirakat mengambil pola bermacam-macam; ada yang berpuasa, semedi di gua-gua, tidak tidur di malam hari, mengurangi makan dan tidur, ada juga yang tidur dan tidak makan selama beberapa hari. Intinya semua pola itu mengarah kepada penyucian diri.

Penyucian diri secara sederhana bisa didefinisikan dengan penyucian dari kekotoran. Baik kekotoran itu mengambil bentuk kekotoran lahir (tubuh dengan makanan tidak halal dan tidak baik yang masuk) maupun kekotoran batin (pikiran yang punya niat dan keinginan yang bermacam-macam).

Makanan halal di dalam kitab suci Al-qur’an diberi penjelasan lagi berupa tayyib. Tayyib secara bahasa semantik punya arti baik. Kenapa harus diberi embel-embel baik? Bukankah makanan yang halal itu sudah barang tentu baik?

Ada sebuah kisah tentang makanan baik ini. Ada seseorang saudara menjadi pegawai bank di BRI. Kemudian dia didatangi oleh seseorang yang tadinya pergi ke kantornya untuk meminjam uang. Orang tersebut membawa parsel dan sejumlah hadiah juga termasuk uang di dalamnya. Saudara ini kemudian berpikir; “orang ini datang dengan hadiah yang bermacam-macam hanya demi mendapatkan rekomendasi untuk diberi pinjaman uang”.

Dia sendiri kebetulan menjadi kepala di Bank tersebut yang apabila seseorang mendapatkan rekomendasi maka akan lolos permintaan pinjamannya. Saudara itu kemudian menolak pemberian hadiah tersebut. Pikirnya; “kalau memang dia mau memberikan sesuatu kenapa tidak diberikan kepada orang miskin saja”. Dia kemudian teringat maksud dari al-Qur’an bahwa pemberian itu sebetulnya halal, namun tidak baik karena ada maksud dan tujuan di baliknya. Kalau dia menggunakan wewenangnya sebegai kepala sedangkan secara prosedur sebetulnya orang itu tidak bisa mendapatkan pinjaman, maka dia termasuk menyalahgunakan wewenang. Dan itu termasuk tindakan yang tidak bertanggung jawab, pikirnya. Dan hati nuraninya jelas menolak.

Itu menyangkut makanan, lalu bagaimana variabel yang menyangkut batin atau pikiran, dimana letak kotornya?

Kekotoran batin bisa diakibatkan oleh tindakan kita sendiri dalam keseharian kita. Pikiran ini bagaikan pita kaset yang selalu bergerak. Alat perekamnya adalah indra kita baik penglihatan, pendengaran maupun yang lain. Apa yang kita lihat, bagaikan potret yang langsung meng-capture obyek yang ada di luar diri kita. Semuanya capture atau hasil jebretan itu langsung masuk ke hardissk kita yang berupa sel-sel tubuh yang di dalam inti sel merupakan ruang kosong berisi semua hal yang kita simpan.

Kalau dalam kehidupan sehari-hari kita menyimpan rekaman yang tidak layak menurut moral kemanusiaan, maka rekaman itu berakibat buruk kepada diri kita. Kita akan merasa tegang, sering pusing, bahkan hidup pun sering terganggu. Tidur tidak enak. Hidup tidak tenang. Strees. Bahkan ada usaha untuk bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban. Itu semua tanda-tanda bahwa tanpa sadar kita telah mereka sesuatu yang tidak layak untuk direkam.

Ibadah semisal shalat, dikir dan wirid sebetulnya defrag (penataan ulang dan penghapusan file-file yang tidak perlu) bagi kita untuk mentralisir racun-racun rekaman yang masuk ke dalam tubuh kita. Wudhu juga defrag cepat (quick defrag) karena air mengandung bioelektrik yang mengandung energi (cahaya) yang bisa menghapus rekaman-rekaman pendek yang tidak layak dan yang tidak diterima oleh tubuh manusia. Sehingga penyucian diri bisa tercapai.

Namun kenapa untuk manunggal dengan tuhan, manusia harus terus menyucikan diri? Jawaban yang paling sederhana dan yang paling logis untuk dikemukakan adalah bahwa tuhan untuk menyucikan diri membuang sifat-sifat yang tidak sesuai dengan kesuciannya kepada manusia. Manusia merupakan makhluk yang paling siap untuk menerima semua kehendak tuhan (amanat tuhan).

Logikanya; semua sifat yang ada di dalam diri manusia adalah kepunyaan tuhan. Namun istilah mempunyai belum tentu menggunakan. Misalnya, saya mempunyai mobil belum tentu saya menggunakan mobil tersebut. Tuhan hanya menggunakan sifat-sifat yang sesuai dengan kesuciannya. Tuhan tidak membutuhkan kesenangan duniawi karena memang itu bertentangan dengan kesuciannya.

Pada akhirnya, yang menggunakan sifat kesenangan duniawi adalah manusia. Yang konon Tuhan mencaci manusia yang dicantumkan dalam al-Qur’an sebagai manusia bodoh yang sanggup menerima amanat yang tidak diterima oleh siapapun selain manusia. Maka sangat wajar kalau dunia ini dipenuhi dengan berbagai macam pernak-pernik kesenangan. Manusia tidak habis-habis idenya untuk menyenangkan dirinya.

Lain soalnya ketika manusia ingin menyatu dengan tuhan, maka otomatis harus meninggalkan dunia kesenangan manusia. Ketika tidur enak, malah disuruh sebaliknya yakni mengurangi tidur. Ketika kita makan enak, kita malah disuruh mengurangi makan. Malahan makan ikan pun harus dihindari. Agar kita betul-betul menjadi wakil Tuhan di Bumi. Karena Tuhan ingin menguji sifatnya melalui af’alnya.

Jawaban sederhana!

Senin, 12 Oktober 2009

ASWAJA

Kemaren, teman-teman PMII mengundang saya untuk berbicara tentang ASWAJA, yang merupakan kependekan dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Pembicaraan tentang ASWAJA merupakan suatu hal yang harus dikemukakan di depan kader-kader PMII. Sebab menurut mereka ASWAJA merupakan tolak ukur sejati bagi kader untuk menjadi kader PMII.

Namun apa sebetulnya ASWAJA? Kenapa perdebatan tentang ASWAJA muncul? Lalu apa yang menjadi cikal bakal kemunculan ASWAJA itu sendiri?

Sebetulnya munculnya perdebatan ASWAJA itu diawali dari hadist nabi yang menyatakan bahwa umat islam di akhir jaman akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Dari 73 golongan itu yang selamat hanya satu, yakni ahlus sunnah wal jamaah.

Di waktu itu shahabat bertanya; siapa gerangan yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jamaah itu?

Nabi kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jamaah itu adalah orang-orang yang mengikuti beliau dan sahabat-sahabat nabi.

Janji bahwa yang selamat hanya ahlus sunnah wal jamaah inilah yang kemudian timbul saling klaim bahwa golongan dirinyalah yang paling pantas disebut sebagai golongan ahlus sunnah wal jamaah. Di kemudian hari, klaim ahlus sunnah wal jamaah dialamatkan kepada kelompok yang disebut dengan sunni (orang-orang yang mengikuti sunnah nabi). Tentu pengalamatan ini dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku sunni.

Kelompok sunni ini dalam realita sehari-hari sering dipertentangkan oleh pengikut sunni dengan kelompok yang mengikuti sayyidina ali, yakni si'i (syiah). Hal ini sangat kentara bila kita melihat kenyataan yang terjadi di Irak dan Iran. Kalau di Indonesia, pertentangan ini tidak sampai menimbulkan konflik horizontal seperti yang terjadi di Irak dan Iran.

Kalau kita kaji, konflik horizontal itu merupakan konflik yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan agama. Apa yang terjadi di Irak dan Iran menyiratkan sebuah konflik politik. Yang muncul di televisi-televisi menunjukkan petanda akan hal itu. Yang menjadi perebutan mereka adalah wilayah.

Mungkin, hal ini juga akibat masa lalu atau dosa sejarah. Yang menjadi penyebab konflik munculnya golongan-golongan dalam keagamaan bukan persoalan perbedaan paham keagamaan tapi perebutan kekuasaan atau akses kehidupan.

Dalam sejarahnya, munculnya demarkasi antara golongan sunni dan golongan syi'ah dipicu oleh persoalan kepemimpinan. Ketika nabi meninggal, sayyidina umar memunculkan gagasan bahwa kepemimpinan umat muslim harus tetap berlanjut jangan sampai terjadi kekosongan kepemimpinan.

Setelah urun rembuk dengan berbagai pertimbangan akhirnya abu bakarlah yang terpilih menjadi khalifah Nabi. Waktu itu, menurut Thabatabai (salah seorang ulama syiah yang kesohor sebagai ahli tafsir), Ali masih dalam suasana duka dan masih mengurus penguburan nabi. Ternyata di belakang sudah ada suksesi kepemimpinan. Otomatis Ali tidak dilibatkan dalam soal kepemimpinan ini.

Orang-orang yang simpati kepada Ali merasa sakit hati dengan peristiwa ini. Karena menurut pengakuan mereka, bahwa nabi sebetulnya sudah menunjuk bahwa pengganti dirinya adalah Ali. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa di suatu saat, di bukit yang bernama Ghadirhum, nabi menyatakan bahwa yang akan mengganti saya adalah Ali. Dan ini diungkapkan di depan banyak orang.

Akhir cerita, polarisasi pertama kali dalam islam ini memunculkan konflik politik dan keagamaan yang berkepanjangan dalam dunia Islam. Sehingga persoalan ini merembet kepada persoalan ahlus sunnah wal jamaah.

Sekian dulu

Minggu, 30 Agustus 2009

Selamat Berpuasa

Kami seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Pakisan Tlogosari Bondowoso mengucapkan selamatkan menunaikan ibadah puasa.
Semoga puasa kita menenangkan dan mendamaikan ruh kita semua.

Selasa, 11 Agustus 2009

Empat Hal Yang Penting

Saya pagi-pagi bangun lalu melihat acara nafiri allah. Sebuah acara kebaktian di salah satu gereja di jakarta. Di televisi itu ada seorang pendeta yang berkhotbah dan khotbahnya menarik sekali.

Dia berkata bahwa ada empat hal yang perlu kita miliki untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Empat hal itu saya kira perlu untuk disebarkan agar saudara-saudara yang lain ikut nimbrung di dalamnya.

Pertama, kita harus punya keyakinan bahwa yang terbaik masih ada di depan kita.

Kedua, kita harus menemukan tujuan penciptaan kita. Kita menemukan tujuan penciptaan ini melalui perbuatan yang kita senangi. Jangan sekali-kali mengerjakan sesuatu yang tidak kita sukai, selain menyiksa diri juga tidak ada keihklasan di dalamnya.

Ketiga, kita harus menikmati setiap saat dan setiap detik waktu yang kita jalani. Sebab apapun kondisi waktu kita, merupakan satu paket waktu dari jumlah keseluruhan umur kita. Kalau umur kita tujuh puluh tahun, maka waktu yang kita habiskan untuk menyesali nasib juga satu paket dari waktu tujuh puluh tahun. Allah tidak menambahi lagi dari paket itu untuk kita gunakan sebagai cadangan waktu yang kita sia-siakan misalnya. Jadilah pribadi-pribadi yang super kata Mario Teguh. Dan nikmatilah hidup ini. Lalu perhatikan apa yang terjadi.

Keempat, kita perlu berkumpul dengan orang-orang yang punya semangat. Janganlah kita berkumpul dengan orang yang selalu putus asa. Karena orang yang berputus asa dari rahmat tuhan, berarti ia menghentikan rahmat tuhan yang sampai kepada dirinya. Sekian,

Semoga Bermamfaat.

Jumat, 31 Juli 2009

Ikhlas

Ikhlas adalah melepas ikatan hati terhadap sesuatu.
Sesuatu bisa berupa apa saja.
Karena apa saja itu disebut sesuatu.

Melepas asal kata dari lepas.
Lawan katanya terikat.
Lepas dengan kata lain adalah bebas.
Bebas itu artinya merdeka.

Jadilah dirimu orang bebas, pesan Rasul Muhammad.
Karena kebebasan adalah kemerdekaan.
La ilaha illallah.
Peniadaan terhadap apapun di hati kita.
Kecuali dengan-Nya.

Dalam hubungannya dengan selain-Nya.
Kita hendaknya meniru air di daun talas.
Airnya tidak pernah melekat.
Walaupun Air berjalan di atas daun.
Itulah filosofi Daun talas dalam kaitannya dengan Ikhlas.

Jumat, 24 Juli 2009

Perantara

Oleh
Muhammad Holid, M.Hum

Suatu ketika Kyai Kholil Bangkalan pernah diundang orang untuk menghadiri acara sunatan. Ketika diundang Kyai Kholil langsung menjawab “ya”. Maklum seorang Kyai sekaliber beliau selalu melihat ke dalam hatinya. Kalau hatinya mengatakan iya’, maka ia akan melakukannya.
Besoknya ketika mau berangkat sang Kyai berpikir, “aku kemarin menjawab iya, tapi aku tidak tahu rumah si punya hajat. Tapi dengan keteguhan hati bahwa beliau akan menemukan rumah si empu hajat, beliau tetap berangkat.
Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan seorang petani. Sebutlah Sidin namanya. Sidin ini petani yang rajin dan selalu tekun melakoni sawahnya walaupun sawah yang dimiliki tidak banyak. Ketika bertemu Sidin, Kyai Kholil bertanya tentang rumah si fulan yang punya hajat menyunatkan putranya. Si Sidin menjawab bahwa rumah empu hajat berada di sebrang jalan berikutnya tidak jauh dari tempat bertemunya Kyai dengan petani itu.
Sang Kyai kemudian bertanya: “Din kenapa engkau tidak ikut juga menghadiri acara itu?”. Sang Sidin menjawab bahwa dirinya tidak diundang. Sang Kyai kemudian menyuruh Sidin untuk mandi untuk diajak ikut serta sang Kyai dalam acara kondangan.
Awalnya si Sidin menolak karena merasa tidak diundang. Sang Kyai memaksa dan menyebutkan bahwa dirinya adalah Kyai Kholil. Begitu mendengar bahwa di depannya adalah Kyai kharismatik di bangkalan, Sidin cepat-cepat beranjak dan mandi. Kyai kemudian berangkat dan berkata: “Aku akan menunggumu di tempat hajatan”.
Begitu sang Kyai tiba, banyak Kyai-Kyai lain telah lama menunggu. Mereka belum memulai acara karena sang Kyai kharismatik belum datang. Akhirnya Kyai dipersilahkan duduk. Dan mereka memohon kepada sang Kyai untuk segera memulai acara karena undangan sudah sejak lama menunggu beliau.
Para Kyai pada heran mimpi apa semalam si punya hajat ini kok Kyai Kholil mau datang ke acaranya. Sebab para Kyai-Kyai desa lainnya ketika mengundang Kyai Kholil, Kyai Kholil jarang datang.
Yang lebih mengherankan lagi adalah Kyai Kholil tidak segera memulai acara itu. Ketika dipersilahkan memulai acara, sang Kyai menjawab: “tunggulah guru saya”. Lebih heranlah para undangan yang hadir. Sebab yang datang ke undangan ini bukan saja Kyai Kholil, melainkan guru Kyai Kholil juga akan datang.
Setelah lama menunggu akhirnya si Sidin datang. Kyai Kholil kemudian memperbaiki duduknya demi menghormat si Sidin. Si Sidin kemudian langsung duduk di samping Kyai Kholil. Semua yang hadir kaget melihat Sidin langsung duduk di samping Kyai Kholil dan lebih mengherankan lagi setelah mendengar perkataan Kyai Kholil bahwa Sidin itulah yang ditunggunya. Sebab dengan adanya Sidin itu, ia bisa menemukan tempat yang dituju. Padahal Sidin dipandang sebagai orang rendah yang diundang pun sudah tidak layak.
Kyai Kholil sebetulnya ingin memberikan pelajaran bagi yang hadir bahwa kita tidak boleh lupa dengan perantara. Perantara ini penting dalam proses perjalanan seseorang. Apalagi seseorang itu dalam proses mencari ilmu. Apapun pangkat perantara, kita tidak boleh lupa. Karena perantara inilah yang bisa menjadikan kita sampai kepada tempat tujuan.
Kita harus merenung kembali melalui siapa kita menemukan guru sejati kita. Dengan perantara siapa kita menemukan jati diri kita. Dengan perantara siapa pula kita mengenal tuhan kita. Itulah semua perantara yang tidak boleh tidak harus kita hormati. Inilah tata krama dalam proses pencarian jati diri.
Semoga bermamfaat.

Kamis, 09 Juli 2009

YPPIS: Kepemimpinan

YPPIS: Kepemimpinan

Sabtu, 04 Juli 2009

Kepemimpinan

Oleh
Muhammad Holid

Akhir-akhir ini perdebatan tentang siapa pemimpin yang layak memimpin negri Indonesia tercinta ini mengemuka. Perdebatan yang mengemuka tetap seputar siapa yang layak dan siapa yang tidak layak.

Penulis sendiri sering ditanya orang siapa kira-kira pemimpin yang layak dipilih. Penulis sendiri bingung untuk menjawabnya. Sebab pertanyaan yang penulis ajukan kepada penulis sendiri adalah “sebagai apa penulis harus menjawab”?.

Terus terang menjadi manusia yang bermasyarakat tidak lepas dari klasifikasi (alat untuk membedakan identitas). Maksudnya, seseorang lahir tidak sendirian. Ia sudah melalui ibu dan bapa. Ibu dan bapa juga melalui ibu dan bapak mereka dahulu. Ibu dan bapak penulis dibesarkan di keluarga pesantren. Pesantren secara organisasi diklasifikasikan sebagai orang-orang yang menganut ahlus sunnah wal jamaah. Ahlus sunnah wal jamaah kalau dipersempit lagi di Indonesia ini adalah Nahdlatul Ulama. Itupun menurut pengakuan orang-orang yang masuk di dalam Nahdlatul Ulama (NU).

Kalau penulis ikut klasifikasi NU, maka penulis akan menjawab bahwa pemimpin yang harus dipilih adalah orang NU. Siapa orang NU yang saat ini mencalonkan diri sebagai presiden? Jawaban satu-satunya yang bisa diberikan adalah Yusuf Kalla. Sebab Yusuf Kalla adalah anak seorang bendahara NU di Sulawesi Selatan. Tapi secara organisasi beliau adalah golkar. Tapi yang jelas semua presiden adalah orang "ASLI" Indonesia. Tapi keaslian patut juga dipertanyakan. Karena Gus Dur sendiri dalam pengakuannya, waktu jadi presiden, nenek moyangnya dari jalur ibu berasal dari Cina. Nah kan semakin tidak ketemu identitasnya. Identitas semakin mencair dan susah dijadikan pedoman.

Tapi kalau klasifikasi itu dihilangkan dan kita melihat realitas yang terjadi, maka banyak orang nampaknya condong kepada SBY. Ingat SBY bukan singkatan dari Surabaya. Istilah condong ini pun masih perlu diperbincangkan. Dan ini hanya sebatas pengetahuan penulis dimana penulis pernah mendengar dari salah seorang pengusaha, bahwa di jamannya Megawati, usahanya tidak akan mengalami kenaikan. Artinya usaha yang dia lakukan akan terus merugi dan dipastikan bangkrut. Sejak pemerintahan SBY, usahanya mulai naik. Itu jawaban yang saya terima dari pengusaha tersebut.

Di samping itu, banyak orang tertarik dengan SBY karena SBY memberikan BLT. Dengan BLT banyak orang miskin dan merasa miskin terbantu nafsu membeli barang-barang sehari-hari yang tak terbeli sebelum ada BLT. Namun akhir-akhir ini Yusuf Kalla memberikan klarifikasi bahwa BLT adalah idenya. Mungkin beliau mencium juga dukungan rakyat kepada SBY karena BLT. Wah, kalau dikaji secara tasawwuf, ini gak ikhlas namanya.

Ada juga yang mengatakan bahwa kita tidak perlu membangun rumah baru yang sudah ada pondasinya. Dan pondasi pemerintahan SBY cukup kuat. Ada juga jawaban yang tidak ada kaitannya, yakni SBY adalah calon presiden yang paling tampan diantara presiden yang ada. Mungkin jawaban ini bagi penggemar berat SBY. He.....kayak orkes dangdut aja...

Kalau kita melihat dari realitas bahwa SBY telah cukup berhasil memberantas korupsi walaupun terkadang strategi hati-hati yang diterapkan, kita cukup berbangga hati karena ada banyak perbaikan di setiap lini. Sebab mengatur banyak orang yang berada di organisasi yang bernama Indonesia ini tidak mudah. Mengatur diri kita sendiri aja sulit, kok mengatur Indonesia. Saya pernah mendengar kyai Mukhit Muzadi, Jember pernah berkata: “Kok ngatur Negoro, ngatur rumah tangga aja lima puluh tahun aja gak selesai-selesai”. Penulis tertawa mendengar kelakar Kyai Mukhit.

Menurut hemat penulis siapapun presidennya, [ma'af, bukan yang penting teh botol sosro minumannya], akan mengalami banyak kendala dalam menjalankan roda pemerintahan Indonesia. Sebab negri yang namanya Indonesia ini, sudah compang-camping. Korupsi meraja lela. Semua urusan harus ada pelicin pakai uang. Kalau tidak ada pelicin, urusan tidak selesai. Utang pemerintah numpuk. Walaupun masyarakat tetap berbelanja sesuai hasratnya di Mall-Mall dan Plaza-Plaza. Penulis kadang heran, katanya Indonesia banyak hutang, tapi jual beli masyarakat tidak berkurang. Ada seorang di sebelah penulis menjawab: “Loh yang banyak hutangnya kan negara mas”. Penulis juga mengiyakan jawaban tersebut.

Kembali kepada persoalan kepemimpinan, bagaimana sebetulnya kepemimpinan dalam al-Qur’an sendiri. Al-Qur’an dalam menyoal kepemimpinan hanya memberikan kategori dua. Di titik ini, penulis seringkali sulit untuk berpikir bebas dari katagori. Sebab kategori juga salah cara menafsirkan realitas.

Dua hal itu adalah pertama jujur. Dan kedua dapat dipercaya. Bahasa al-Qur’annya adalah Shadiqul Amin. Pertanyaan lebih lanjut adalah kenapa al-Qur’an hanya memunculkan dua kategori ini. Sebab, ini kalau kita mau berpikir kausalitas (sebab akibat), kalau seorang pemimpin jujur, maka dia tidak akan melakukan kecurangan. Itu yang pertama. Dan ini sudah tautologis (hanya membalikkan kebalikan kata jujur).

Kedua, jujur merupakan pondasi. Apapun pekerjaan yang dilakukan kalau tidak disertai dengan kejujuran, maka pekerjaan itu akan kehilangan pondasi. Ibaratnya bangunan, kalau pondasi ambruk, maka bangunan akan runtuh. Kalau bangunan ambruk, lalu bangunan apa yang hendak kita bangun lagi, kalau pondasi selalu kita hancurkan.

Syarat yang kedua adalah amanah. Amanah ini bisa dimaknai sebagai kepercayaan, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab. Syarat kedua ini juga pondasi. Sebab semua yang diberikan oleh Allah adalah amanah. Istri amanah. Anak amanah. Kita sendiri adalah amanah. Mata amanah, telinga amanah, hidung amanah, bibir amanah, lidah amanah. Semua anggota baik yang bersifat software (pikiran dan perasaan) maupun hardware (anggota tubuh kasar), adalah amanah. Maka kita tidak layak menggunakan amanah Allah kepada sesuatu yang tidak layak menurut Allah bukan menurut kita. Termasuk kepemimpinan juga amanah.

Kepemimpinan sebetulnya juga pemberian Allah. Yang menilai Allah sendiri. Kalau seseorang dipandang amanah oleh Allah, maka Allah akan terus memberikan kepercayaan kepada orang itu. Dan itu sudah pasti. Walaupun di mata manusia orang itu tidak layak. Sebab semuanya milik Allah, walaupun Allah tidak pernah membuat sertifikat tanah dan mengkotak-kotak golongan dan bangsa, kata sebagian orang.

Lalu, kalau dua kreteria dalam al-Qur’an ini yang mau kita anut, kira-kira siapa yang lebih dekat dengan dua kreteria tersebut? Pembaca sendiri yang bisa menjawabnya.
Yang pasti penulis sendiri, menulis bukan sebagai jurkam pilpres 2009. Apalagi sebagai calon menantu Presiden. Ah semakin ngelantur aja tulisan ini....

Selamat memilih presiden.
SBY : Saya biasa yang enak, jadi enak terus...
JK : Jangan Keburu, perhitungkan dengan cermat...
Ibu Mega : sorga berada di bawah telapak kaki dan diantara dua kaki ibu....

Sabtu, 20 Juni 2009

Belajar Bersyukur

Suatu saat, saya ziarah ke astanya syeh kholil bangkalan. Sampai di sana ada orang bertanya gimana sebetulnya hidup ini. Ia bercerita tentang istrinya yang sudah dua dan akan menginjak tiga. Tapi ia masih kebingungan.
"Saya sendiri tidak tahu gimana hidup", kata saya. Saya hanya mencoba mensyukuri apa yang tuhan kasih kepada saya saat ini. Sebab hidup adalah berkah. Apa yang ada di depan kita ya kita syukuri besar kecilnya. Usahakan walau bagaimanapun kita tidak mengeluh. Ini hanya berbincang loh, kata saya. Sebab saya sendiri terkadang lupa untuk mensyukuri sesuatu".
Lalu datang seorang kawan membawa ote-ote. Ketika ote-ote itu ada di hadapan kami, kawan saya yang baru berbincang-bincang tentang syukur tadi bertanya kepada kawan yang membawa ote-ote. "Mas ada pisang goreng yang hangat-hangat enggak mas"? tanyanya.
Saya kemudian menimpali. "Baru kita membicarakan tentang syukur, sampean sudah tanya sesuatu yang tidak ada di hadapan kita". Coba kita makan dulu bareng-bareng baru kita mengucapkan al-hamdulillah.
Akhirnya kami berdua tertawa. Menertawakan diri kami masing-masing yang sering lupa bahwa yang ada di depan kami harus kami syukuri. Dan itu terjadi setiap saat.
Akhirnya dia berkata kepada saya "loh ini mas, ternyata belajar bersyukur juga tidak sekali jadi, butuh proses, lalu gimana dengan ajaran yang lain"?
Ah' kata saya berguman dalam hati "memang tidak mudah orang bersyukur".

Onde-Onde

Suatu hari penulis naik bis jurusan bangkalan. Di Bis, ada seorang penjual onde-onde. Kebetulan orang di dekat saya ada seseorang yang ingin membeli onde-onde tersebut. Pembeli menyerahkan uangnya 2000 rupiah. Tampa bertanya lebih dahulu kepada pedagang berapa harga satuannya.
Setelah pedagang menyerahkan onde-onde kepada pembeli, sang pembeli marah. "Engkau gimana wong kemaring harga onde-onde ini harganya lima ratus, saya ngasih dua ribu kok hanya dapat dua, semestinya kan dapat empat". Akhirnya sang penjual menambahi satu. Dan pembeli mendapatkan tiga sambil marah-marah.
Saya perhatikan sang penjual onde-onde hingga melewati bangku yang saya duduki menuju bangku depan. Sampai di depan bangku yang saya duduki, onde-ondenya jatuh ke bawah satu biji. Sang penjual onde-onde kebingungan mencari tapi tidak ditemukannya onde-onde tersebut.
Saya berpikir dalam hati "memang tuhan tidak pernah luput memperhatikan ketidakjujuran hambanya, bahkan kepada penjual onde-onde sekalipun".

Rabu, 17 Juni 2009

RABITAH

Ada seseorang yang bertanya kepada penulis tentang rabithah yang benar? Penulis kemudian mencoba mengklarifikasi bentuk pertanyaan. Penulis balik bertanya;”apa yang engkau maksudkan dengan rabithah dan apapula pendapat penanya tentang kebenaran”? Sebab kalau dua soal ini belum jelas, penulis tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan.
Si penanya kemudian berterus-terang bahwa dia sendiri kurang memahami apa sebetulnya rabithah. Dia hanya menceritakan perihal temannya yang berkata kepada dirinya bahwa rabithah yang benar menurut temannya itu adalah melepaskan segala urusan kepada sang guru mursyid. Padahal yang ditemui penanya itu dalam proses ‘rabithah’ adalah membayangkan wajah sang guru dan itu dibenarkan oleh sang guru mursyidnya.
Penulis kemudian berpikir adanya kejanggalan pada penjelasan penanya dan juga pernyataan temannya yang mendefinisikan rabithah sebagai pelepasan segala urusan kepada sang guru mursyid. Pelepasan mengacu kepada lepasnya sesuatu dari yang lain. Kalau aturan berguru mursyid adalah selalu mengingat sang guru, maka istilah pelepasan menurut penulis kurang tepat. Menurut penulis lebih tepat bila digunakan istilah penyerahan.
Kemudian, kalau pernyataan sang penanya tentang rabithah merupakan membayangkan wajah sang guru, hal itu berarti menyangkut cara bukan definisi rabithah. Kalau kemudian yang menjadi kejanggalan adalah persoalan cara, lalu bagaimana kalau cara itu dikaitkan dengan term benar?
Di sinilah kemudian kita penting berhati-hati dengan pernyataan yang kita ucapkan. Kalau pernyataan yang keluar dari ucapan kita sudah keliru dari awal, seterusnya pernyataan tersebut akan keliru dan tidak tepat sasaran.
Kembali ke persoalan cara. Penulis kemudian bertanya kepada si penanya; “apa kebenaran itu sendiri menurutmu”? Sang penanya kemudian menjawab bahwa dia mencari kebenaran menurut sang guru mursyid itu sendiri.
Penulis kemudian memberikan penjelasan bahwa kalau kebenaran yang penanya maksudkan adalah kebenaran menurut guru mursyid, maka kita perlu melihat pernyataan-pernyataan yang diucapkan sang guru tentang rabithah atau sesuatu yang berkaitan dengan rabithah. Dalam hal ini diperlukan data yang berkaitan dengan hal tersebut. Data itu bisa didapatkan dari ucapan sang guru mursyid. Kalau tidak pernah bertemu dengan sang guru, maka perlu menyimak pernyataan murid lain yang pernah bertemu dengan sang guru. Perlu diketahui bahwa guru mursyid penulis dan penanya adalah sama.
Sepengetahuan penulis, data yang ada menunjukkan bahwa sang guru mursyid tidak pernah mendefinisikan rabithah. Sang guru hanya sering berkata bahwa “apabila sang murid-muridku mengalami kesulitan apapun, ingatlah saya” demikian ucapan yang sering didengar penulis dari berbagai sumber.
Pernyataan ini menurut penulis bukan definisi. Ia mengacu kepada petunjuk praktis bagi murid dari sang guru mursyid untuk mengatasi kesusahan sang murid dalam hidupnya. Data-data dari murid-murid yang lain menunjuk hal yang sama. Artinya bila si murid kesulitan dimana saja dan dalam kondisi apa saja, diperintahkan untuk mengingat guru.
Mengingat guru bukan hal yang berkaitan dengan kebenaran. Mengingat berkaitan dengan sebuah upaya batin untuk tidak melupakan sesuatu. Mengingat dalam bahasa al-qur’an adalah salah satu dari definisi etimologis berdzikir. Sebab berdzikir secara etimologis adalah mengingat, mengingat-ngingat dan mengucapkan sesuatu.
Maka persoalannya kemudian bukan menyangkut benar atau tidak. Tapi menyangkut pada keyakinan kita. Kalau kebenaran yang kita pahami adalah pengetahuan yang diketahui secara interpersonal. Artinya semua orang menyaksikan sama. Kalau si A melihat bahwa 2 + 2 = 4, maka si B, C, D dan seterusnya akan mengatakan hal yang sama.
Mengingat, mengingat-ngingat dan mengucapkan sesuatu, tidak berkaitan dengan pernyataan benar dan tidak benar. Di manapun kita mengingat dan dengan cara apapun kita mengingat, semuanya adalah absah. Yang penting adalah ingat bukan cara mengingat, mengingat-ngingat dan mengucapkan sesuatu. Yang paling penting adalah apa yang kita rasakan apabila kita mengingat sang guru mursyid ketika kita mengalami kesulitan dalam persoalan hidup, yang semakin hari semakin menjadi benang yang kusut.
Allah lebih mengetahui kebenarannya.

Minggu, 14 Juni 2009

Manaqib Syeh Abdul Qadir Jailani

اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمد رسول الله.....

لسيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى اله وصحبه وذريته واهل بيته ولجميع الانبياء والمرسلين والملاءكة المقربين الفاتحة .........

ثم خصوصا الى سلطان الاولياء شيخ محي الدين عبد القادر الجيلاني الفاتحة...

ثم خصوصا الى جميع والى سوغو والى جميع اولياء الله من مشارق الارض الى مغاربها الفاتحة.....

ثم خصوصا الى كياهى محمد خليل باغكلان, والى كياهي شمس العارفين سوكورجو, والى كياهي اسعد شمس العارفين, والى حبيب احمد المخضار الفاتحة.......

ثم خصوصا الى ابينا وامينا وزوجنا وذريتنا ولجميع اخواننا من امة محمد صلى الله عليه وسلم الفاتحة.......

ثم خصوصا الى شيخنا مرشيد كياهي حج ابو زيري واولاده وازواجه وذريه واهل بيته واخوانه وتلاميذه الفاتحة.......

ثم خصوصا الى مقصودنا الاعظام من جميع حاجتنا واخواننا من امة محمد صلى الله عليه وسلم الفاتحة.......

Asyhadualla ilaa ha illallah, wa asyhadu anna muhammadur rasulullah 3x

  1. Li sayyidinaa muhammadin sallallahu alaihi wasallama wa alaa aalihi wa sahbihi wa durriyatihi wa ahli baitihi wa lijamii’il ambiya’i wal mursalin wal malaa ikatil muqarrabin al-faatihah.......
  2. tsumma khususan ilaa sultanil awliya syeh muhyiddin abdul qadir jailani al-faatihah..
  3. tsumma khususan ila jamii’i wali songo, wa ila jamii’i awliya Allah mim masyariqil ardi ilaa magaaribiha al-faatihah....
  4. tsumma khususan ila kyai muhammad kholil bangkalan, wa ilaa kyai samsul arifin sukorejo, wa ilaa kyai as’ad syamsul arifin, wa ilaa habib ahmad al-muhdor al-faatihah....
  5. tsumma khususan ilaa abiina, wa ummiina, wa zaujinaa, wa durriyatinaa, wa lijamii’i ikhwaanina min ummati muhammadin sallallahu alaihi wasallama al-faatihah
  6. tsumma khususan ilaa syaihina mursyid kyai haji abu zairi, wa awladihi, wa azwa jihi, wa durriyaa tihi wa ahli baitihi, wa ikhwaa nihi wa talaamiidzihi al-faatihah
  7. tsumma khususan ila maksuudinal a’dam min jamii haajatina, wa ikhwanina, min ummati muhammadin sallallaa hu alaihi wasallama al-faatihah......

Sabtu, 13 Juni 2009

Menjadi Manusia

Menjadi Manusia

Ada sebuah cerita yang terkenal di dalam dunia sufi (tasawwuf) tentang seorang laki-laki yang ahli ibadah dan seorang perempuan pelacur. Sebutlah sang laki-laki itu Abid namanya dan Perek untuk sebutan si perempuan pelacur. Sehari-hari kerjanya si Abid adalah beribadah kepada Allah. Sang Abid rajin shalat dan tidak pernah meninggalkan shalat. Sedangkan si Perek kerjanya kebalikan si Abid. Selain sebagai perempuan pelacur, si Perek tidak pernah shalat.

Dalam khasanah fikih (Yurisprudensi Islam) perbuatan meninggalkan shalat merupakan dosa besar. Biasanya dalam khasanah fikih orang yang meninggalkan shalat sering disebut sebagai tarikus shalat. Dan pelaku tarikus shalat itu dihukumi sebagai orang yang melakukan dosa besar yang disebut dengan al-kabair. Orang yang melakukan dosa besar masih ada kemungkinan untuk diampuni kecuali dia melakukan perbuatan syirik. Namun istilah perbuatan syirik ini masih mengundang perdebatan. Apakah yang dimaksud dengan perbuatan syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah seperti yang dialamatkan kepada mereka yang menyembah patung dan sebagainya. Atau, apakah yang dimaksud dengan syirik itu adalah menduakan Allah seperti halnya diri kita yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan Allah? Kalau pemahaman yang terakhir ini kita anut dan kita sadar bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, maka pertanyaannya adalah apa sebetulnya kepentingan Allah dan apa kaitannya dengan cerita di atas.

Ada satu peristiwa dari cerita di atas yang perlu kita cermati bersama dalam kaitannya dengan pernyataan lebih mementingkan kepentingan Allah. Suatu hari, ada seekor anjing yang kelaparan di desa Abid dan Perek. Kebetulan Abid dan Perek berada di desa yang sama. Anjing itu berjalan ke sana kemari mencari makan. Pertama kali yang melihat anjing itu adalah si Abid. Si Abid begitu melihat anjing merasa jijik. Dan berguman dalam hati “dasar anjing menggonggong ke sana kemari menggangu orang tidur saja”. Sang abid tidak mempedulikan anjing tadi. Ia hanya berlalu dan bersungut.

Dalam pandangan keagamaan sang Abid, anjing merupakan binatang yang najis. Orang yang menyentuhnya pun harus membasuh bekas sentuhan dengan air tujuh kali yang salah satunya dicampuri dengan debu. Ini menandakan bahwa anjing merupakan hewan yang buruk. Dan najisnya pun tergolong najis berat (mugholladhoh).

Bahkan diterangkan dalam sebuah hadis bahwa malaikat tidak akan masuk rumah seseorang yang di dalamnya terdapat gambar anjing. “Wong gambarnya saja tidak bisa dimasuki malaikat, apalagi anjingnya. Apalah artinya saya memberi makan kepada anjing itu dalam beribadah kepada Allah”. Begitulah sang Abid berbicara kepada diri sendiri.

Lama menunggu dan tak ada yang peduli kepada sang anjing, akhirnya Perek datang. Waktunya pun sudah larut. Kebetulan malam itu ia pulang malam setelah kecapean melayani dua orang sekaligus pelanggan setianya. Si Perek yang tak tahu persoalan agama tentang kenajisan anjing, langsung saja begitu melihat sang anjing kelaparan memberikan makanan yang baru dibelinya untuk persiapan makan malam di rumah. Rasa iba tiba-tiba menghantui dirinya. Ia tidak tega dengan anjing yang kelaparan. Dan ia rela memberikan makan malamnya kepada si anjing tadi.

Alhasil dipengadilan Tuhan sang Perek dan sang Abid sama-sama dihadapkan kepada Tuhan untuk dimintai pertanggung jawab atas perbuatannya di dunia. Sang Abid merasa gagah di dahapan Tuhan. Sementara si Perek merasa hina karena tidak ada amal yang bisa diandalkan. Ternyata Tuhan memasukkan sang Abid ke dalam neraka dan memasukkan si Perek ke dalam surga. Ada apa sebetulnya ini semua?

Selidik punya selidik ternyata Tuhan memasukkan seseorang ke neraka dan surga memang sudah kehendaknya karena memang dialah empunya surga. Manusia tidak bisa mengklaim bahwa dirinyalah yang pantas masuk surga dan orang lain pantas masuk neraka. Karena surga dan neraka memang hak prerogratif Tuhan. Siapa pun tidak bisa menentangnya. Lalu apa gunanya amal ibadah yang kita lakukan kalau tidak ada balasan atas ibadah yang kita lakukan?

Ada banyak jawaban yang bisa diberikan atas pertanyaan ini. Kelompok sufi dalam melihat persoalan ini memberikan jawaban bahwa surga bagi manusia adalah semata-mata karunia Allah. Seorang hamba tidak bisa mengandalkan ibadahnya untuk mendapatkan surga. Tugas hamba hanyalah menjadi hamba tanpa minta balasan kepada tuannya yakni Tuhan sendiri. Sebab karunia yang diberikan oleh Allah mulai nafas yang kita hirup sampai makanan yang kita makan sehari-hari, tidak bisa dihitung. Apalagi dikalkulasi dengan ibadah yang kita lakukan. Tentu tidak cukup. Ibadah semata-mata bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah.

Lain halnya dengan perspektif kelompok fikih. Setiap orang yang melakukan kewajiban seperti halnya shalat pasti dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Dan yang meninggalkan kewajiban akan mendapatkan siksa. Ibadah dan surga merupakan dua hal yang punya konsukuensi logis. Bila kita rajin beribadah kepada Allah maka surga akan diraih. Sebaliknya bila kita tidak rajin beribadah nerakalah konsukuensinya.

Dua pendekatan ini saling tarik-menarik dalam dunia pemahaman kaum muslim. Kaum tasawwuf cendrung melihat perspektif kaum fikih ini sebagai kelompok yang berpandangan legal-formal. Ibadah kemudian menjadi persoalan wajib dan tidak wajib. Konsukuensi yang diharapkannya pun sebatas surga dan neraka. Dan ini merambah kepada persoalan lainnya.

Adapun jawaban yang diberikan oleh kelompok fikih adalah bahwa “kami ini menghukumi sesuatu sesuai dengan tampak dhahirnya, dan itu tugas kami, dan kami tidak menghukumi sesuatu pada persoalan batinnya. Hal itu urusan lain”. Begitulah kira-kira pengakuan yang dilontarkan oleh salah seorang pengkaji Yurisprudensi Islam kepada penulis.

Di sini kita bisa melihat bahwa dua dimensi yakni dhahir dan batin yang sebetulnya harus bergandengan secara harmonis menjadi sesuatu yang bertentangan. Ada orang yang menyebut dimensi batin ini sebagai dimensi esoteris dan dimensi dhahir ini sebagai dimensi eksoteris. Hal ini kemudian merambah kepada persoalan tafsir dalam ajaran Islam.

Terkait dengan tafsir pada dimensi batin dalam ajaran islam, perspektif tasawwuf lebih banyak bermain di wilayah ini. Dalam melihat anjing yang dinajiskan dalam hadis, ahli tasawwuf melihat bukan pada dhahirnya anjing melainkan pada sifat anjing. Anjing mempunyai sifat dengki, iri hati, dan pendendam. Jika manusia masih mempunyai sifat seperti dengki, iri hati dan pendendam maka manusia itu tidak ubahnya dengan anjing. Efeknya iri hati juga jelas. Ia akan susah berdamai dengan dirinya sendiri apalagi berdamai dengan orang lain. Karena munculnya iri hati disebabkan oleh gagalnya memiliki obyek yang diinginkan yang ia lihat pada orang lain.

Menjadi Manusia.

Lalu apa sebetulnya tugas kita sebagai manusia di dunia?. Tugas manusia adalah menjadi manusia bukan menjadi binatang dan bukan pula menjadi tumbuh-tumbuhan. Hakekat tumbuh-tumbuhan adalah kecendrungan akan makanan dan minuman. Kalau manusia kecendrungannya hanya memikirkan makanan dan minuman maka dia tak ubahnya seperti tumbuhan-tumbuhan.

Adapun hakekat binatang adalah kecendrungan untuk menerkam, membunuh, tidak peduli kepada yang lain, dan keganasan lainnya. Kalau manusia tidak mau beranjak dari sifat kebinatangannya, maka manusia tak ubahnya seperti binatang. Ia akan cendrung memikirkan diri sendiri seperti digambarkan dalam cerita di atas. Ia akan tega membunuh sesama manusia. Ia akan tega membuang anaknya di sungai. Ia akan tega memperkosa anaknya sendiri. Dan ia akan tega memukul orang lain.

Menjadi manusia harus keluar dari kecendrungan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Memang manusia pada dasarnya tidak punya sifat yang tetap. Tapi sebagai wakil Allah manusia harus mempunyai sifat seperti yang mewakilkan. Yaitu Allah sendiri. Marilah kita semua berakhlak dengan akhlaknya Allah. Karena disitulah kita akan menjadi manusia.

Dalam cerita di atas, si pelacur perempuan telah menggunakan salah satu akhlaknya Allah yakni sifat penyayangnya terhadap makhluk Allah. Sehingga Allah tetap memandang bahwa seseorang yang menggunakan sifatnya walaupun sekelumit, dia telah layak menjadi wakil-Nya. Selamat Membaca.

Dinarasikan oleh M.H.

Toisme Islam

Taoisme Islam

  • Awal agama adalah mengenal Allah
  • Dasarnya : wama khalaqtul jinna wal insa illah liyakbudun. Sanurihim ayatina fil afaqi wa fi anfusihim. QS: 41; 53.

  • Nama Allah sinonim dengan sifat Allah
    1. Nama : kata benda
    2. Sifat : kata sifat
  • Nama adalah kata sifat (yang berfungsi sebagai kata benda nama diri)
  • Kata sifat adalah kata benda abstrak
  • Manusia : mati
  • Allah : Hidup-Menghidupkan-Mematikan
  • Kalau manusia hidup, maka yang terjadi adalah manusia meminjam atau diberi pinjaman hidup.

Manusia

  • Anggota tubuh bagian luar melambangkan 7 iklim
    1. Kepala
    2. Leher
    3. Dada
    4. Tangan
    5. Perut
    6. Alat kelamin
    7. Kaki

  • Anggota tubuh bagian dalam melambangkan 7 langit

1. Paru-Paru

a. Bulan : paru-paru makro-kosmos yg menengahi antara dua dunia.

b. Malaikatnya : mengatur air dan udara bersuhu sedang.

2. Otak

a. Merkurius : pengetahuan & mengelola penghidupan.

b. Malaikatnya : Jibril : penyebab sekunder bagi pengetahuan manusia.

3. Ginjal

a. Venus

b. Malaikatnya : kegembiraan, kebahagiaan dan keinginan.

4. Jantung

a. Matahari : jantung makrokosmos.

b. Malaikatnya : Israfil : bertanggungjawab atas kehidupan.

5. Limpa

a. Mars

b. Malaikatnya: bertanggunjawab atas kekerasan, kemurkaan, pemukulan, dan pembunuhan.

6. Hati

a. Jupiter

b. Malaikatnya: Mikail : pengatur rizki.

7. Kantong Empedu

a. Saturnus

b. Malaikatnya : Izrail : pencabut nyawa.

  • Ruh hewan : penyangga
    • Lambang bintang yang tetap
  • Ruh Psikis : Arasy
  • Akal : wakil Allah

Allah

  • Cahaya
    • Manusia gelap
      • Cemerlang : cahaya campur dengan kegelapan
  • Akal
    • Yang pertama
    • Penyebab
    • Hidup
    • Kuasa
    • Mampu merencanakan
    • Mengetahui
    • Aktif
    • Eksistensi

  • Posisi khusus manusia
    • Menerima amanat QS: 33: 72.
  • Khazanah
  • Di dalam Khazanah, ada permata.
  • Permata :
    • Ditempatkan dalam domain makrokosmos yang tak terhingga
    • Domain dibedakan menjadi dua
      • Nyata
      • Ghaib
  • Tapi Setiap permata tetap tersembunyi dalam Khazanah Ilahi.
  • Cahaya pada dirinya sendiri
    • Satu
    • Sederhana
    • Serba meliputi
    • Tidak mempunyai warna dan bentuk
  • Entitas akal dan jiwa yang bebas
    • Sederhana
    • Cemerlang
    • Jelas
  • Raga
    • Jauh dari kesederhanaan
    • Cahaya yang jatuh akan tebal
  • Zat yang maha hakiki pada tataran kesatuan
    • Bebas dari rupa
    • Bebas dari Sifat
    • Bebas dari warna
    • Bebas dari bentuk
  • Semakin dekat dengan zat hakiki, semakin kita menghampiri kesatuan dan kecemerlangan
  • Semakin jauh dengan zat maha hakiki, semakin kita mendekati keterpisahan dan kegegelapan

KESEMPURNAAN MANUSIA

  • Apa yang diinginkan Allah dari eksistensinya
  • Dari segala sesuatu, Allah hanya ingin memanifestasikan seluruh nama atau sifat-Nya.
  • Jika dari dirimu tidak lahir amal perbuatan yang disitu ada noda dosa, Allah akan menciptakan manusia yang berbuat salah agar mereka bisa berdosa dan melakukan kesalahan, dan lantas memohon ampun atas dosa itu, menjadikan sifat dari Zat pemaaf teranifestasi. HR. Muslim Bab Tawbah 11.
  • Teks hadisnya berbunyi: jika engkau tidak berdosa, Allah bakal melenyapkanmu dan mendatangkan sekelompok manusia yang berbuat dosa agar mereka memohon ampunan-Nya, dan Dia bakal mengampuni mereka.

  • Sifat pemaaf Allah, telah melahirkan dosa.
  • Nama-nama Allah menunjuk kepada hakikat realitas
  • Nama-nama Allah hanya realitas yang ada
  • Manusia sempurna memanifestasikan nama Allah

Kamis, 04 Juni 2009

Profil Pesantren Salafiyah Pakisan Tlogosari Bondowoso

Profil Pesantren Salafiyah Pakisan Tlogosari Bondowoso

Pesantren Islam Salafiyah Hidayatullah, Pakisan, terletak di sebelah timur kota Bondowoso. Tepatnya di desa Pakisan, kecamatan Tlogosari, Bondowoso Jawa Timur. Orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan Pakisan. Karena dulunya di daerah ini, banyak tumbuh tanaman Pakis. Orang setempat kemudian menamai daerah ini dengan Pakisan. Daerah pakisan merupakan daerah pegunungan dengan hawa yang cukup sejuk. Curah hujan juga cukup tinggi. Jarak Pakisan dengan kota Bondowoso, apabila ditempuh dengan kendaraan yang berkecepatan 60 km/jam, membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit. Dan jika dihitung dengan jarak, Pesantren Pakisan dengan kota Bondowoso berjarak sekitar 17 kilometer.

Pesantren Salafiyah berdiri di atas tanah yayasan seluas ± 2 hektar. Di atas tanah ini, ada tiga gedung yang digunakan untuk tempat tinggal santri baik santri putra maupun santri putri yang keseluruhan santri menetap di kompleks pesantren. Untuk kompleks santri putra, ada dua gedung. Yang pertama gedung dua lantai yang ditempati saat ini. Yang kedua, gedung dua lantai yang masih dalam tahap penyelesaian. Untuk gedung dua lantai yang pertama, bagian bawah diperuntukkan bagi santri tingkat Tsanawiyah (SMP). Sedangkan gedung bagian atas diperuntukkan bagi santri tingkat Aliyah (SMU). Adapun tujuan pemisahan ini adalah untuk melatih kemandirian dan menjaga kesetaraan antar santri. Sehingga sikap egaliterian bisa tercipta karena posisi yang setara di antara mereka.

Namun di masing-masing kamar santri, ada satu orang pendamping yang bernama ketua kamar. Ketua kamar ini berfungsi sebagai murabbi. Artinya murabbi adalah orang yang mengayomi dalam segala hal termasuk bagaimana cara berpakaian yang baik dan beraklakul karimah yang baik. Baik beraklakul karimah antar sesama teman maupun berahlakul karimah dengan yang maha kuasa. Tugas ketua kamar sebagai murabbi bukan tugas yang ringan. Karena baik buruknya anak kamar tergantung kepada ketua kamar yang sekaligus murabbi ini. Dengan pengertian lain, ketua kamar merupakan kepanjangantangan pengasuh pesantren. Mengingat, pengasuh pesantren tidak bisa setiap saat mengawasi dan memberikan tauladan kepada masing-masing santri secara keseluruhan. Pengasuh hanya bisa memberikan contoh secara global. Karena di pesantren yang paling penting adalah pemberian contoh. Tanpa contoh yang baik dari yang tua, yang lebih muda akan bertindak semaunya. Pada gilirannya, ketauladanan menjadi ajaran yang pokok di dalam pesantren salafiyah.

Jumlah santri putra di masing-masing kamar bervariasi. Ada yang terdiri dari tujuh belas anak dan ada pula kamar yang jumlahnya lebih dari tujuh belas. Jumlah yang tidak layak menurut standar kesehatan, ungkap salah seorang dari dinas kesehatan yang pernah berkunjung ke pesantren ini suatu waktu. Namun langkah ini tetap diambil. Karena dana yang ada dan dimiliki oleh pesantren belum memungkinkan untuk membangun gedung baru. Pesantren sendiri belum mempunyai pemasukan yang tetap di luar iuran santri yang bisa menopang pesantren. Iuran santri sendiri lebih banyak minus ketimbang lebihnya. Selain keterlambatan pembayaran, banyak santri yang menjadi tanggungan pesantren. Karena selama ini, pesantren menanggung makan sekitar tiga puluh orang setiap harinya.

Di samping itu, jumlah santri semakin hari semakin meningkat dan banyak yang berdatangan terutama santri dari luar kota. Dan jumlah santri yang meningkat tidak disertai dengan jumlah kamar yang meningkat pula. Jumlah kamar masih berjumlah delapan kamar dengan ukuran 4X6 meter. Sehingga santri banyak yang tidur di masjid dan di ruang kelas.

Untuk tempat santri putri, terdapat gedung dua lantai dengan jumlah kamar sebanyak delapan kamar. Masing-masing kamar berukuran 5x5 meter persegi. Dengan ukuran itu, kamar diisi sebanyak lima belas anak. Ada pula yang lebih dari lima belas. Jumlah ini, lagi-lagi menurut orang-orang dari dinas kesehatan, merupakan jumlah yang tidak memenuhi standar kesehatan (ideal). Namun lagi-lagi langkah ini diambil, mengingat pesantren tidak mempunyai dana yang cukup untuk membeli sebidang tanah yang ditawarkan oleh penduduk sekitar pesantren untuk perluasan pondok. Sementara peningkatan santri putri lebih banyak jumlahnya dari pada jumlah santri putra setiap tahunnya. Akibatnya, banyak santri terkena penyakit asma. Seorang dokter yang sering memeriksa kesehatan santri mensinyalir bahwa gedung yang pengab menjadi penyebabnya.

Sedangkan untuk gedung yang dijadikan tempat penyelenggaraan pendidikan formal, pesantren menyediakan empat ruang untuk Tsanawiyah dan kantornya, empat ruang untuk Aliyah dan kantornya, satu ruang perpustakaan, satu ruang Lab Bahasa Inggris Self Access, satu ruang laboratorium komputer, satu ruang serba guna (aula), satu ruang Klinik kesehatan dan satu ruang lagi untuk kantor Yayasan Pondok Pesantren Islam (YPPI). Semua ruang itu untuk sementara waktu masih memungkinkan untuk digunakan. Walaupun disana sini perlu adanya beberapa perbaikan karena kondisi gedung sudah banyak yang rusak. Khususnya, ruang kelas Tsanawiyah perlu untuk direhap total. Kayu-kayu kusen dan jendelanya sudah rusak parah. Untuk kelas jauh perguruan tinggi, sementara ini pesantren masih meminjamkan ruang kelas Aliyah untuk dijadikan tempat. Di samping itu, masjid yang menjadi sarana ibadah pusat kegiatan santri berada di depan kantor Yayasan dan di depan rumah pengasuh pesantren. Masjid pesantren ini hingga saat ini masih dalam tahap renovasi.

Adapun jumlah santri secara keseluruhan sebesar 244 santri dengan rincian 132 orang santri putra dan 112 orang untuk santri putri. Santri-santri itu kebanyakan berasal dari Bondowoso sendiri. Santri yang berasal dari luar Bondowoso dalam jumlah prosentase berjumlah sebesar 40 %. Kebanyakan santri yang dari luar Bondowoso berasal dari Sampang-Madura, Jember, Malang, Probolinggo, Surabaya, Jawa Tengah (kudus), Situbondo, Banyuwangi, Bali dan Lombok.

Kegiatan santri sehari-hari

Kegiatan santri dalam kesehariannya terbagi menjadi dua macam kegiatan. Pertama kegiatan formal dan yang kedua adalah kegiatan informal. Formal artinya resmi dan diakui oleh negara. Sedangkan informal adalah tidak resmi dan tidak diakui oleh negara. Yang diakui adalah ijasahnya. Dan terkadang resmi dan tidak resmi ini membawa dampak tersendiri bagi semangat belajar santri. Santri lebih berorientasi kepada pendidikan resmi. Mengingat ijasahnya bisa digunakan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di luar pesantren. Sedangkan ijasah pesantren yang tidak diakui oleh negara dipandang tidak banyak berguna bagi santri ketika akan melanjutkan pendidikan di luar pesantren.

Kegiatan formal santri dilaksanakan di lembaga Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan Tinggi. Sedangkan kegiatan santri yang informal dilaksanakan di luar waktu-waktu-waktu penyelenggaraan pendidikan formal. Ada beberapa bentuk kegiatan informal. Kegiatan itu meliputi pertukangan dan bangunan, kesenian, kursus komputer, ketrampilan jahit-menjahit, tata boga, dan perkebunan. Untuk kesenian, pesentren mempunyai beberapa fasilitas yang mendukung santri baik putra maupun putri untuk mengembangkan bakat dalam kesenian. Misalnya kesenian drumband, hadrah, gambus, dan pencak silat. Kesenian yang sering tampil dan diundang bahkan keluar kota adalah drumband dan gambus. Disamping itu, pesantren juga mengembangkan tanaman hias dalam bidang perkebunan. Usaha ini bertujuan melatih santri mencintai lingkungan dan punya ketrampilan dalam bercocok tanam. Diharapkan, santri setelah pulang ke masyarakat mempunyai ketrampilan yang beragam untuk bekal dalam mengarungi hidup.

Untuk kegiatan informal santri yang bersifat keagamaan, kegiatan santri juga beragam dan padat. Di pagi hari sehabis subuh, semua santri mengikuti pengajian kitab kuning dengan tingkat kemampuan masing-masing. Di masjid, pengajian diperuntukkan bagi santri yang sudah Aliyah. Siswa-siswi Tsanawiyah mengikuti latihan dasar dalam pembelajaran kitab kuning di ruang kelas untuk putra dan di surau untuk putri. Yang belum bisa mengikuti pengajian kitab kuning, ditekankan untuk mendalami bacaan al-Qur’an. Karena kemampuan membaca al-Qur’an merupakan tolak ukur masyarakat dalam menilai seorang santri. Apakah santri itu bersungguh-sungguh belajar di pesantren atau tidak. Kalau santri belum bisa membaca al-Qur’an, masyarakat akan menilai santri belum berhasil dalam belajar di pondok pesantren. Untuk kitab kuning, masyarakat tidak terlalu memperhatikan. Karena santri juga punya tujuan berbeda dalam belajar di pesantren. Ada santri yang sekedar ingin tahu membaca al-Quran dan pengetahuan agama yang digunakan untuk dirinya sendiri. Ada santri yang menginginkan lebih untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya di pondok kepada masyarakat luas. Tujuan yang terakhir ini menuntut santri membekali dirinya dengan bermacam-macam pengetahuan. Mengingat kebutuhan masyarakat juga bermacam-macam.

Kegiatan informal sehabis subuh berhenti sampai matahari terbit dan santri bersiap-siap untuk sekolah formal. Sekolah formal dilakukan dari pukul 07.00, pagi hingga jam 02.00, sore. Sehabis itu, santri beristirahat untuk persiapan mengikuti acara mengkaji al-Qur’an bersama selama satu jam di masjid setelah sholat jemaah ashar. Sehabis sholat jemaah magrib, santri semuanya diharuskan mengaji al-Qur’an bersama dengan didampingi oleh santri yang lebih senior. Kegiatan ini diakhiri oleh sholat jama’ah isya’. Setelah sholat jamaah isya’, semua santri senior dan Aliyah diharuskan mengikuti pengajian tafsir jalalain di masjid secara sorogan yang dibacakan langsung oleh pengasuh Pesantren K. Muhammad Holid, S.Ag, M.Hum. Untuk santri Tsanawiyah, mereka mengikuti pengajian yang di kelas-kelas sebagaimana jamak dilakukan di waktu habis subuh. Kegiatan santri secara informal ini dilakukan dalam siklus yang terus-menerus hingga hari libur bulan puasa tiba.

Di luar kegiatan informal dan formal di atas, santri di malam selasa dan jum’at berkumpul di depan ruang kantor Tsanawiyah untuk menonton TV bersama. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi kejenuhan santri yang penat mengikuti jadwal yang padat. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada santri tentang perkembangan di dunia. Untuk informasi sehari-hari, santri bisa mengakses koran kompas dan jawa pos yang disediakan oleh pesantren. Santri juga bisa mengakses informasi melalui buku-buku yang tersedia di perpustakaan pesantren. Untuk sementara waktu, semua buku hasil sumbangan pemerintah dan pembelian disatukan di satu tempat yakni perpustakaan pesantren Salafiyah Hidayatullah. Untuk pembelian buku, pesantren mengalokasikan dana dua ratus ribu rupiah setiap bulannya. Alokasi ini sebetulnya terlalu sedikit untuk perpustakaan. Namun dana yang dimiliki oleh pesantren masih Sangat terbatas.

Cerita Tembakau

Cerita di balik murahnya harga tembakau Madura.

Sebuah Kesaksian[1]

Menjelang panen tembakau di Madura, banyak petani menaruh harapan. Harapan akan mahalnya harga tembakau. Namun harapan, seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya tinggal harapan yang tak pernah dan mungkin tidak akan pernah menjadi suatu kenyataan. Walaupun menjadi kenyataan, namun kenyataan yang sifatnya sementara. Maksudnya harga yang mahal hanya terjadi dalam waktu beberapa hari saja dari masa panen. Setelah itu, harapan raib entah kemana. Pertanyaannya, ini salah siapa, atau bagaimana sebetulnya benang kusut di balik murahnya harga tembakau ini.

Awalnya, harga tembakau di Madura memenuhi harapan petani tembakau. Dalam pengertian, hasil panen bisa memenuhi kebutuhan petani dan petani bisa melunasi hutang masa sebelum panen. Mengingat, kebanyakan petani di Madura, menanam tembakau dengan modal hutang. Hutang tersebut akan dibayar setelah masa panen tiba. Hutang itu, selain untuk modal tanam, digunakan untuk menopang kehidupan keluarga yang hanya mengandalkan hasil pertanian. Dan harapan mereka hanyalah tembakau yang akan dipanen itu.

Ada cerita menarik seputar harapan mereka ini. Ketika saya masih kecil, waktu itu sekitar tahun delapan puluhan, banyak wajah-wajah sumringah dan menyenangkan di Madura ketika musim panen tembakau tiba. Saya melihat orang-orang yang masad (memproses daun menjadi tembakau), atau mengiris-ngiris daun tembakau menjadi potongan kecil-kecil, diberi makanan dengan lauk-pauk yang lumayan mewah menurut ukuranku sebagai orang desa waktu itu. Rata-rata ikannya daging sapi. Saya berfikir, apakah tidak rugi kalau dikalkulasi dengan penjualan tembakau, kalau memberi makan tukang iris itu dengan sapi yang satu kilonya bisa mencapai dua puluh lima ribu rupiah waktu itu.

Namun mereka tidak peduli soal daging yang disediakan kepada para pekerja tersebut. Hal ini mengingat ‘daun emas’ [istilah orang Madura bagi daun tembakau] banyak mendulang rupiah dalam setiap kilonya. Lagi pula, kebiasaan orang Madura, ketika musim tembakau, makanan bukan hanya sesuatu yang mengenyangkan, tapi juga merupakan identitas mereka bahwa mereka mampu. Makanan menjadi prestise tersendiri.

Di musim tembakau, aku juga melihat kebiasaan orang Madura waktu itu, tidak merokok tembakau yang mereka hasilkan. Mereka lebih suka membeli rokok yang sudah jadi. Kalau perlu merokok hasil buatan pabrik terkenal. Salah seorang teman saya waktu itu, merasa bangga kalau dia bisa merokok gudang garam surya. Katanya, tidak ada rokok yang melebihi kenikmatan gudang garam surya. Saya sendiri yang waktu itu juga merokok walaupun masih kecil, merasakan kenikmatan yang lebih kalau merokok tembakau hasil produksi orang Madura sendiri. Tapi imajinasi orang tidak sama dalam mempersepsi rasa. Dan rasa tidak bisa diperbandingkan. Rasa hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan.

Tembakau sendiri menurut ceritanya dibawa oleh orang-orang Belanda, yang dijadikan komuditi dan dijual ke wilayah Eropa yang memang pangsa pasar tembakau. Untuk memenuhi kebutuhannya, Belanda membuka lahan tembakau di berbagai tempat. Di Jawa timur sendiri tanaman tembakau hampir merata. Bahkan di Jember, ada tembakau yang terkenal dengan sebutan na’ongs yang digemari oleh orang-orang luar negri. Untuk bahan rokok cerutu, pihak pabrik biasanya menanam sendiri yang kalau di Jember banyak ditemui di daerah Balung yang dikurung dengan kelambu di atasnya. Karena banyaknya petani tembakau di Jember, pemerintah kabupaten Jember pernah merencanakan tembakau sebagai identitas Jember. Mereka sudah merencakan proyek identitas itu dengan membuat tarian tabako, yang namanya diambil dari tembakau. Namun proyek ini gagal karena tembakau bukan tanaman khas Jember. Jember bukanlah asal-muasal tembakau.[2]

Bertahun-tahun mereka menikmati mahalnya harga tembakau. Kenikmatan mahalnya harga tembakau bukan hanya dinikmati petani. Namun juga dinikmati oleh para pedagang tembakau. Banyak orang ketika masa panen menjadi uforia untuk menjadi pedagang. Orang yang asalnya petani, ikut-ikutan menjadi pedagang tembakau demi mendulang rupiah di dalam masa yang singkat dengan hasil yang melimpah. Bahkan dengan modal pinjaman dari rentenir, yang menuntut pengembalian cepat dan bunga membengkak, mereka rela untuk meminjam sebagai modal berdagang tembakau. Menurut hasil wawancara saya dengan salah seorang pedagang tembakau yang sudah bergelut menjadi pedagang tembakau selama enam tahun, Ahmad namanya, banyak orang Madura yang menjadi pedagang tembakau berani menghutang sapi seharga 4 juta dan sehabis panen tembakau mengembalikan pinjaman menjadi 6 hingga delapan juta. Hal ini merupakan pengembalian yang jauh di atas bunga Bank manapun. Padahal masa panen tembakau diperkirakan hanya punya durasi waktu satu bulan. Mereka berani mengambil resiko demikian besar karena memang hasil dari berdagang tembakau sangat menggiurkan. Modal empat juta kalau dibuat modal dagang selama masa panen tembakau, bisa mendatangkan hasil lebih dari separo. Suatu jumlah yang fantastis bagi pedagang dengan modal kecil dan pas-pasan.[3]

Namun ketika saya beranjak dewasa dan mulai mengerti pembicaraan orang, saya mulai mendengar keluh kesah petani tembakau yang kian hari kian menghilang wajah sumringahnya. Saya tidak lagi melihat wajah cerah saudara-saudara yang datang dari Madura ke rumah. Kebetulan saya sendiri sudah besar dan lahir di Jember, yang oleh orang Madura disebut oreng Jebeh, istilah Jawa yang dimadurakan. Orang Madura biasa mengganti huruf W dengan huruf J. Bondowoso diganti menjadi Bendebesah. Penggantian ini bukan hal yang prinsip bagi orang Madura. Karena kesalahan mengucapkan nama atau bahasa bukan hal yang dipandang perbuatan yang mengandung dosa. Perubahan vokal dan konsonan dianggap suatu kesalahan dan punya implikasi dosa, apabila menyangkut ayat-ayat suci al-Qur’an. Dosa sendiri merupakan konsep orang Madura untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan dan dilanggar. Karena orang yang melanggar akan mendapatkan laknat dan hukuman dari Tuhan. Saya pernah mendengar orang Madura yang salah ucap terhadap suatu nama, dan ketika ditegor oleh seorang kawan, ia menjawab: dinah tak pak apah cong, makeh salah, la sala nik sakonik tak parapah, tak kerah dusah ke Alla. Pokok en benni al-Qur’an. Mon al-Qur’an, beh! jek acem macem, dusah nak. Ariah caen ustad engkok lambek ning madrasah. (gak apa-apa nak, walaupun saya salah mengucapkan kata-kata, salah sedikit saja tidak apa-apa, yang penting kan tidak dosa kepada Allah. Pokoknya bukan al-Qur’an. Kalau al-qur’an, jangan macam-macam, dosa hukumnya. Ini kata guru saya dulu waktu saya di Madrasah).

Mungkin, sebagian orang akan melihat dan menafsirkan ucapan bapak tersebut sebagai bentuk prilaku orang-orang Madura yang suka ngotot dan selalu menganggap benar apa yang dilakukan. Senyampang perbuatan itu tidak bertentangan dengan prinsip yang dia yakini, yakni prinsip hidup yang telah diajarinya dari madrasah-madrasah yang ada di kampung-kampung. Dan ketaatan orang madura kepada guru ngaji di madrasah, pesantren maupun di sekolah umum melebihi ketaatan kepada lainnya. Bahkan ketaatan kepada guru, terutama guru pesantren, mengalahkan ketaatan kepada orang tua sendiri. Prinsipnya, orang tua membawa dia turun dari langit ke bumi, sedangkan guru membawa dia naik dari bumi ke langit. Posisi langit dan bumi tentu lebih tinggi langit menurut konsep kosmos yang ada di literatur-literatur pesantren.

Kondisi ketaatan yang tanpa reserve ini terkadang, untuk tidak menggunakan kata seringkali, digunakan oleh kyai-kyai yang ikut parta politik untuk mengeksploitasi suara masyarakat dalam pemilu, pilkadal, dan pilkades. Bahkan eksploitasi ini berlanjut kepada hal-hal yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun orang-orang Madura tidak pernah mempedulikan hal-hal, yang menurut ahli kebudayaan disebut eksploitasi. Karena bagi orang Madura, pengabdian kepada kyai dan guru ngaji, sama halnya pengabdian kepada tuhan. Tuhan bersemayam di dalam guru dan kyai. Dan Kyai menjadi tempat satu-satunya mereka mengadu dan berkonsultasi tentang berbagai macam persoalan kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan menurut wawancara dengan seorang penduduk yang pernah kehilangan sapi, berkata kalau kehilangan sapi mengadu kepada polisi, ia akan kehilangan sapi dua kali. Sapinya tidak ketemu, malah polisi minta uang untuk mencari maling, yang malingnya sudah pasti tidak ketemu. Karena menurutnya, sebenarnya polisi sudah tahu bahwa maling A yang mencuri, tapi menurut pengakuannya, terkadang polisi menyuruh maling tersebut untuk mencuri dan polisi sering narget kepada maling A tersebut.[4] Kalau mengadu kepada kyai, walaupun sapinya tidak ditemukan, minimal mereka mendapatkan ketenangan. Kondisi ini menjadikan kyai tetap menjadi pilihan masyarakat untuk mengadukan persoalan mereka, termasuk pengaduan soal murahnya harga tembakau.

Namun kyai di beberapa tempat di Madura saat ini mulai kehilangan legitimasinya. Banyak kyai di Madura tidak sama prosesnya dengan ayah-ayah mereka dahulu dalam keteguhan hatinya membela rakyat kecil. Kalau orang tua mereka, banyak yang tidak mau kepada uang yang tidak jelas sumbernya dan betul-betul membela masyarakat lemah. Bahkan menganggap uang pemberian pemerintah sebagai pemberian yang syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).

Kondisi ini berbalik bila dilihat saat ini. Banyak kyai berpolitik dan bermain dalam monopoli bisnis. Hal ini membuat berang kyai-kyai sepuh yang masih konsisten dan teguh dengan perjuangan masyarakat. Salah seorang kyai sepuh, kyai Sa’ad namanya, yang saya temui berkomentar begini:

Benyak kyaeh mangken, alakoh se benni lakonnah. Benni lakonah ekelakoh. Masak kyai rok norok pilkada, rok norok adegeng bekoh. Soro jek ancor masyarakat. Mon polannah kullu syain haa likun. Kabbi bekal rosak.

Banyak kyai saat ini melakukan sesuatu pekerjaan yang sebetulnya bukan bidang pekerjaannya. Bukan kerjaanya, dikerjakan. Masak, kyai ikut-ikutan pilkada dan ikut-ikutan berdagang tembakau. Apa gak akan menjadi hancur masyakat nantinya. Memang, setiap sesuatu selain Allah akan rusak.

Kyai ini nampaknya menghadapi sebuah dilema yang saling kontradiksi di dalam dirinya. Di satu sisi, kyai ini jengah melihat prilaku kyai-kyai yang sudah keluar jalur dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang kyai. Namun di sisi lain, sang kyai punya kesadaran penuh bahwa semuanya akan hancur kecuali wajah tuhan. Karena semuanya hancur kecuali tuhan, maka prilaku demikian sebetulnya masih dalam koridor kehendak Tuhan dan kita sebagai manusia tentu mengikuti saja kemauan tuhan.

Terjadi sikap dualistik pada sang kyai Sa’ad ini. Ia mengkritik sekaligus sadar bahwa kekacauan yang terjadi sebetulnya juga kehendak tuhan. Bahkan dia mengatakan bahwa maling akan terus ada, karena kyai masih ada. Memang dibuat begitu sama tuhan. Akan tetapi sebagai kyai dia mengkritik teman-teman sesama kyai yang prilakunya sudah tidak sesuai dengan tugas-tugas kyai yang seharusnya mengemban amanat rasul. Sebagai rasul, seseorang tidak boleh mengerjakan apapun selain tugas kerasulannya. Ia harus jauh dan selalu mengambil jarak dengan kepentingan-kepentingan yang sifatnya duniawi.

Hal ini menimbulkan ketegangan dan pergulatan batin tersendiri bagi kyai-kyai yang masih berkecimpung dalam masyarakat banyak dan punya konstituen. Di satu sisi, ia punya umat dari berbagai macam kelompok dan golongan yang harus diayomi semua. Di sisi yang lain, kebutuhan lembaga pendidikannya juga perlu dipikirkan. Ia harus menandatangani kontrak kerja dengan guru-guru di lembaganya untuk menaikkan gaji guru. Kalau tidak dinaikkan gajinya, gurunya banyak yang berhenti. Gedung-gedung sudah banyak yang rusak yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sementara donatur masyarakat tidak banyak yang bisa diharapkan. Alih-alih biaya hidupnya sendiri juga tinggi.

Menggunakan konsep menolak sumbangan pemerintah karena sumbernya yang tidak jelas, merupakan kesia-siaan belaka. Mengirim proposal kepada pemerintah juga merupakan hal yang tabu karena secara psikologis, karena kyai dilarang meminta-minta. Apabila masa pemilu tiba, banyak calon yang langsung memberi uang dan meminta restu yang kadang tidak bisa ditolak oleh sang kyai. Ada pantangan tersendiri bagi kyai untuk menolak. Sebab penolakan adalah bentuk lain dari sebuah pengingkaran yang hal itu sangat bertolak belakang dengan ajaran sang kyai. Kalau tidak berkecimpung dalam politik, jelas tidak punya pundi-pundi yang mencukupi. Karena uang memang tidak ada cukupnya, kecuali yang bersangkutan sendiri yang merasa cukup. Sebab pada akhirnya, perasaan cukup itulah yang akan menentukan kehidupan seseorang dalam keadaan berkecukupan atau tidak. Di sinilah, urgensi ajaran agama untuk selalu menerima dan ikhlas. Berfikir kemudian bukan untuk menguasai, tapi berfikir adalah untuk bersyukur.

Bagi kyai yang mengisolasi diri dengan masyarakat akan sangat mudah mengambil jarak bahkan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi. Ia tidak perlu terseret-seret oleh kepentingan dan keinginan masyarakat yang menjadi konstituennya. Karena memang ia tidak punya konstituen. Ia juga tidak akan didatangi calon-calon dari pemilu untuk dimintai restu sebab tidak punya kekuatan massa. Ia juga bisa mengkritik seenak hatinya karena ucapannya tidak akan menjadi fatwa yang harus dilaksanakan oleh konstituennya. Karena kyai yang saya wawancarai ini, walaupun dimintai tolong banyak orang dalam hal pengobatan dan lainnya, ia tidak punya santri dan kerjanya hanya menyendiri dan menunggu orang yang meminta tolong kepadanya.

Persoalan: sebuah pemetaan awal

Kembali kepersoalan awal tentang murahnya harga tembakau, maka pertanyaan yang muncul sebetulnya adalah akar persoalannya dari mana sehingga harga tembakau menjadi murah. Saya kemudian mencari tahu dari orang-orang yang berkecimpung dalam jual beli tembakau. Kebetulan saya bertemu dengan seorang kawan yang pernah menjadi pedagang tembakau selama enam tahun. Ahmad namanya. Mungkin kawan yang terlibat dengan perdagangan tembakau ini memberikan jawaban lain. Selama ini jawaban yang muncul dari petani tembakau yang saya tanya adalah jawaban yang selalu menyalahkan pembeli besar semisal Pabrik Gudang Garam Surya dan sebagainya. Ada juga jawaban bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mempermainkan harga.[5] Tapi kenapa tiba-tiba muncul permainan harga? Apakah kemunculan itu terjadi seketika?. Kalau seketika, kenapa petani pernah menikmati harga yang stabil dan tidak dipermainkan. Ada juga jawaban petani dari Pamekasan bahwa pemerintah daerah terlalu banyak menarik pajak bagi pihak pembeli tembakau dalam skala besar dan bagi produsen rokok sendiri yang juga pembeli besar dalam tembakau.

Di tengah-tengah carut-marutnya jawabannya yang masing berdasarkan prasangka yang masih banyak mengandung kemungkinan itu, Ahmad, kawan mantan pedagang tembakau tadi bercerita:

Dulu, menjadi pedagang tembakau adalah pekerjaan yang membawa untung besar. Banyak teman-temannya yang tertarik dengan untung besar yang menjadi pedagang tembakau. Karena banyak keuntungan yang menggiurkan, banyak orang yang menjadi pedagang dalam skala kecil mengambil langsung kepada petani dan dijual kembali kepada pedagang besar yang memproduksi rokok dalam skala besar pula. Dan dia menyebut pembeli tembakau dengan skala besar itu dengan sebutan Cina. Cina itu, sebelum menjadi pembeli dalam skala besar, mereka terlebih dahulu bertani tembakau. Sehingga ia mengetahui seluk beluk tembakau. Jangankan mencium tembakau, menyentuh tembakau dengan tangan saja, mereka sudah tahu bahwa tembakau yang dipegangnya adalah tembakau asli Madura atau tembakau palsu atau yang bukan asli Madura. Mereka juga tahu apakah tembakau yang dibeli itu dipanen dalam masa muda, atau dipanen dalam usia yang cukup tua untuk dipanen. Karena waktu tembakau harganya masih baik dulunya, banyak tembakau yang belum cukup tua dan siap untuk dipanen, banyak petani sudah memanennya. Efeknya tembakaunya banyak yang rusak dalam waktu yang singkat.

Lebih jauh Ahmad melanjutkan ceritanya:

Ketika tembakau mahal, banyak pedagang dalam skala kecil yang tergiur dengan untung besar kemudian membawa tembakau dari luar Madura untuk dijual di Madura. Tembakau dari Jember, Besuki, Bondowoso dan Situbondo diangkut dalam jumlah besar ke Madura. Bedanya, tembakau Madura punya rasa manis, tembakau luar Madura tidak punya rasa manis. Untuk memaniskan tembakau, mereka mencampur dengan gula merah. Namun campuran ini bukan tanpa resiko. Resikonya adalah tembakau akan menjadi keras dan rusak. Sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan baku. Karena memang tembakau rusak dalam jangka waktu kurang dari satu tahun.

Sementara, pabrik sendiri mengambil barang saat ini tidak langsung diproses menjadi rokok saat ini juga. Biasanya, bahan baku saat ini, digunakan dan diproses tiga tahun yang akan datang. Istimewanya tembakau madura adalah tembakau yang walaupun disimpan dalam jangka waktu lama, tembakau tidak rusak. Malah baunya semakin harum dan rasanya semakin gurih.

Awalnya, pabrik tidak menaruh curiga apapun terhadap tembakau yang disetorkan pedagang-pedagang dalam skala kecil itu. Namun akhirnya ketahuan juga, karena baru dapat enam bulan tembakau sudah keras dan membatu. Kejadian itu diketahui setelah cinanya melakukan peninjauan langsung ke gudang yang selama ini dipercayakan kepada orang-orang Madura sendiri. Bahkan salah seorang Cina itu berkata kepada para pedagang kecil seraya melempar tembakau itu di depan pedagang-pedagang tembakau yang menyetor tembakau dalam skala kecil itu. Sambil melemparkan tembakau, ia berkata: kalau begini terus kondisi tembakau yang anda setorkan, saya tidak betah berbisnis dan tinggal di Indonesia.

Kondisi ini diperparah oleh prilaku petani yang juga tidak mau ketinggalan dalam kecepatan mengambil keuntungan. Tembakau yang semestinya belum bisa dipanen, dipanen. Resikonya tembakau yang dihasilkan tidak bagus karena memang hasil panen prematur. Ketika dipasat (diproses daru daun menjadi tembakau), semua tangkai dan pohon yang muda juga dipasat. Dulu, pasatan itu hanya melibatkan daun dan itupun daun yang sudah memang betul-betul siap untuk dipanen sehingga tembakau yang dihasilkan harum dan tahan lama. Ketika muda sudah dipanen, dan bukan hanya daun yang diproses, tembakau menjadi kasar, tidak harum dan kurang ketahannya. Hal ini dilakukan karena yang dilihat hanya untung dan untung. Mereka tidak pernah memikirkan dampak dari prilaku yang tanpa mereka sadari. Mereka telah menggali jurang mereka sendiri.

Menurut Ahmad lebih lanjut, prilaku pedagang skla kecil yang ingin cepat mengambil untung itu juga didasari motif lain, yaitu keterdesakan mereka untuk segera mengembalikan pinjaman modal kepada pemberi pinjaman. Banyak diantara mereka modalnya berasal dari pinjaman berupa sapi. Sapi yang dipinjam misalnya dihargai tiga juta, dalam waktu selesai panen tembakau harus dikembalikan lima juta. Bahkan ada peminjam yang harus mengembalikan sampai tujuh juta. Dan anehnya, banyak peminjam yang berani mengambil resiko itu demi mendapatkan modal dagang. Akhirnya, yang mereka lakukan adalah melakukan cara-cara yang sebetulnya merugikan mereka sendiri.

Prilaku pedagang skala kecil dan petani mendapatkan umpan balik dari pengusaha dan produsen rokok yang mengambil tembakau dari mereka. Pengusaha-pengusaha itu kemudian melakukan cara-cara yang juga merugikan bahkan hingga saat ini pedagang skala kecil dan petani tidak mampu berbuat apa-apa untuk menaikkan harga tembakau mereka. Secara tak langsung, genderang perang telah ditabuh oleh pedagang skala kecil dan petani sendiri. Kepercayaan diantara pedagang kecil dan besar menjadi hancur. Hubungan sosial juga otomatis hancur. Hubungannya bukan lagi hubungan harmonis, yang saling membutuhkan dan saling menghidupkan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang mematikan dan dibuat hanya petanilah yang membutuhkan uluran sang penguasa modal. Posisi pemilik modal menjadi di atas angin yang hanya menoleh dengan dendam dan ketidakpedulian. Sesekali pihak gudang garam hanya meninjau tembakau dari atas helikopter mereka.

Padahal kalau petani tembakau se-Madura serempak mengubah lahan tembakau mereka menjadi lahan jagung atau lainnya untuk beberapa tahun saja, pengusaha rokok besar maupun kecil akan kesulitan mendapatkan bahan baku. Namun perubahan lahan tanaman itu hanya mungkin terjadi di angan-angan. Karena proses penubuhan tembakau atau daun emas itu sendiri sudah sangat mendarah daging bagi petani tembakau itu sendiri. Dan kejadian ini adalah efek dari petani dan pedagang kecil sendiri yang memang perlu disadari oleh mereka sendiri.

Saat ini, pengusaha rokok besar hanya membuka gudang untuk menerima tembakau yang dijual petani hanya sementara waktu. Harga tembakau yang mahal hanya berumur tiga hari dari masa panen. Itupun harga tertinggi hanya ditetapkan sebesar tiga puluh ribu rupiah. Tiga hari kemudian harga sudah anjlok menjadi dua puluh ribu rupiah. Selanjutnya harga akan terus anjlok menjadi sembilan ribu rupiah perkilo. Alasan yang selalu dijadikan senjata untuk menurunkan harga tembakau adalah tembakau petani rusak terkena hujan. Dan anehnya, cuaca di Madura, ketika masa panen tembakau tiba, menjadi sangat tidak bersahabat dengan petani. Hujan turun bisa menjadi sangat tiba-tiba dan tak terduga sebelumnya. Apakah alam ini sudah bosan dengan prilaku manusia yang selalu berbuat dosa, demikian Ebiet G. Ade dalam satu bait syair lagunya.

Di tengah ketidakmenentuan harga dan nasib ini, ada secercah harapan bagi petani tembakau dan pedagang kecil. Sekarang banyak usaha home industri rokok bermunculan. Kemunculan home industri rokok ini banyak menyerap tembakau petani yang tidak tersedot oleh perusahan besar. Geliat home industri ini sangat disadari oleh pengusaha besar sehingga pengusaha besar ngotot meminta pemerintah untuk menerapkan cukai kepada semua perusahaan rokok yang ada termasuk rokok home industri. Tuntutan mereka tentu rasa keadilan yang harus dibagi sama. Karena mereka sama-sama pengusaha rokok baik skala kecil maupun besar. Toh mereka juga menjual rokok kepada masyarakat yang juga menjadi wilayah pasar perusahan rokok dalam skala besar.

Perangnya kemudian menjadi bertambah. Bukan hanya pengusaha rokok besar dengan petani, tetapi perang antara pengusaha rokok besar dengan pengusaha rokok home industri. Di samping itu, perang antara perusahaan rokok besar dengan perusahaan rokok besar juga sangat sengit. Hal ini bisa dilihat dari cara-cara bagaimana mereka memperebutkan ruang publik dengan tampilan iklan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Iklan kemudian menjadi wilayah perebutan ruang.

Di pihak lain, ijin memproduksi dan cukai rokok, menurut sebagian sumber yang memproduksi rokok home industri, sulit didapatkan dari pemerintah.[6] Atau hal ini juga disebabkan oleh kemalasan mengurusi birokrasi cukai yang terlalu berbelit. Karena memang motto birokrasi di Indonesia adalah kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Bisa dipermudah, kalau ada harta dan wanita, bahkan bisa jadi tahta, menurut salah satu sumber yang pernah bekerja di bagian ekspor-impor dan sering berhubungan dengan bea dan cukai. Kalau gak gitu pak, pengiriman barang menjadi terlambat, barang gak keluar dari pelabuhan, ujarnya. Dan tempat negosiasinya pun kebanyakan bukan di kantor, tapi di hotel-hotel yang menjadi kebiasaan tempat mangkal untuk menancapkan cakar-cakar mereka.[7]

Akhirnya, akankah muncul dan perlu dimunculkan pembicaraan ulang mengenai perlunya membina kerja sama dan membangun rasa saling percaya kembali antara petani atau wakilnya dan pengusaha besar dalam forum bersama? Atau keadaan ini kita biarkan saja menurut alur sejarah yang akan terus berjalan dengan membiarkan ketimpangan dan perang harga yang tak pernah usai? Pembaca sendirilah yang lebih tahu jawabannya.


[1] Ditulis oleh :

Muhammad Holid, M.Hum

Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Bondowoso

Dalam rangka penyajian tulisan di Jurnal Renaissance.

[2] Informasi tentang pembentukan identitas jember ini hasil wawancara dengan aktifis gerakan mahasiswa Unej Jember, namanya Praminto Moahayat.

[3] Mengenai persoalan pinjam meminjam ini saya mendapatkan informasi dari pedagang tembakau, Ahmad dan Pak Saini.

[4] Hal ini berdasarkan pengakuan seseorang yang tak perlu saya sebutkan namanya, demi menjaga kerahasiaan yang bersangkutan.

[5] Pengakuan ini berdasarkan wawancara saya dengan beberapa petani tembakau di Pamekasan.

[6] Hal ini didasarkan kepada wawancara penulis dengan salah seorang pengusaha rokok home industri yang rokoknya dijual antar rumah demi menyambung hidup sehari-hari.

[7] Hal ini berdasarkan pengakuan Pak Abidin, yang telah lama bergelut dalam bidang ekspor-impor. Hal ini juga didasarkan kepada pengakuan pak Muzakki, yang lama menjadi camat dan birokrasi yang mengurusi ketenaga kerjaan. Muzakki sendiri bercerita bahwa dirinya banyak mencicipi perempuan yang dibawa oleh klien. Bahkan tidak jarang, klien membawa perempuan luar negeri, yang menurut muzakki paling enak rasanya perempuan Vietnam dan New Zeeland.