Senin, 28 Maret 2011

Kekhawatiran III

Ada seorang laki-laki yang menikahi perempuan tetangganya. Perempuan ini adalah istri keduanya setelah dia berpisah dari istri pertama. Punya anak dua.

Lama dia mencari kerja. Namun pekerjaan yang diharapkan tidak kunjung datang. Akhirnya sang istri yang kreatif bekerja dan menghasilkan uang. Kebutuhan sehari-hari cukup buat makan sekeluarga.

Sampai saat ini sang suami tetap tidak menemukan pekerjaan. Setiap ia bekerja pasti rugi bahkan ketika membuka usaha habis dengan modal-modalnya. Ia menjadi bingung. Gimana solusinya. Apa kata tetangga, pikirnya. Kok laki-laki tidak bekerja. Malah perempuan yang bekerja. Ia merasa harga dirinya terinjak-injak.

Dia kemudian mengadukan perihalnya kepada salah seorang kyai. Sang kyai hanya berkomentar satu kalimat: ah lagi-lagi kekhawatiran diri.

Kekhawatiran II

Ada seorang suami mengadu kepada sang kyai. Ini kyai istri saya tidak nurut kemauan saya, ujar sang suami sambil melirik sang istri. Dia malah sibuk berpolitik. Bok, ya saya saja yang berpolitik. Itu kan kawasan laki-laki.

Sang kyai bertanya: apa benar pengakuan sang suami ibu? si istri mengangguk. Lalu sang kyai bertanya kepada si suami; apa salah jika seorang ibu berpolitik?

Si suami tidak terima pertanyaan sang kyai. Ia merasa tidak dibela oleh kyai. Pengennya dia mengadu untuk mencari dukungan sang kyai agar membelanya. Dan istri 'insaf' dan mau kembali menjadi ibu rumah tangga yang baik-baik menurut definisinya.

Begini, sang kyai menengahi, kita sebagai laki-laki jangan berpikir sepihak dari sudut pandang kita saja. Cobalah berpikir dari sudut pandang istrimu. Mungkin istrimu tidak ada kegiatan di rumah dan punya jiwa politik juga. Toh kamu berbeda partai dengan istrimu. Apakah kamu takut tersaingi dengan prestasi istrimu? Apakah prestasi istrimu jika melebihi kamu, harga dirimu merasa diinjak-injak?

Ah lagi-lagi kekhawatiran yang muncul.

Kekhawatiran 1

Ada seorang murid, membela gurunya yang dicaci maki oleh orang yang tidak suka dengan ajaran sang guru. Pembelaan itu dilakukan oleh murid itu dengan memukul orang yang mencaci itu. Orang yang dipukul jadi pingsan. Sang murid menjadi bingung sendiri.

Akhir cerita, sang murid kemudian sowan kepada guru. Sang guru langsung menebak murid: Anda memukul orang ya! kata sang guru. Guru itu dikenal sebagai orang yang tahu sebelum kejadian akan terjadi (weruh sak duruning winarah). Sang murid tidak bisa mengelak. Ia mengaku.

Sang guru pelan-pelan berbicara. Kamu tidak perlu membela saya. Sebab kamu adalah tanggungan saya. Kalau kamu begitu, berarti kamu tidak percaya saya. Dan kamu masih percaya, kalau nasib saya masih berada di tangan manusia. Kalau kamu memukul orang, sebetulnya muncul dari kekhawatiranmu sendiri.

Sang murid tertegun. Ia ingat cerita pewayangan. Salah satu tokoh dalam pewayangan membela gurunya yang akan dipanah. Ia kemudian memanah duluan orang yang akan memanah sang guru. Tapi Sang guru malah menegor dan menghukum sang murid. Karena sang murid masih percaya kalau nasib sang guru ada di ujung panah.