Selasa, 05 Januari 2010

Gus Dur?

Gus Dur?
Gus Dur telah meninggal. Tubuhnya telah lelah setelah sekian lama menderita tapi tak dirasakannya. Maklum beliau tipe manusia yang tak pernah memikirkan dirinya. Pikirannya lebih banyak dicurahkan kepada bangsa yang kadangkala memusihinya. Begitulah nasib para utusan. Banyak orang menolak ide-idenya. Tapi setelah meninggal, justru banyak orang yang merasa kehilangan. Bukan kehilangan tubuh dhahir, tapi kehilangan pikiran-pikiran segar yang ada di tubuh dhahir yang memang banyak sisi kelemahannya.

Banyak orang mengatakan dia wali. Sebagian mengatakan intelektual yang sulit dijangkau pemikirannya. Ada orang yang mengatakan dia antek Yahudi karena pernah bekerja sama dengan mereka. Ada yang mengatakan ia zindik, yakni orang yang sudah lepas dari hukum syari’at. Ada pula orang yang mengatakan dia ngawur karena seenak hati kalau berbicara tanpa kenal rasa takut. Bahkan ketika dia sendirian menentang Soeharto. Mana yang benar? Saya kira tidak ada yang benar dalam hidup ini. Itu semua hanya sebuah tafsir atas realitas yang bernama Gus Dur. Memahami diri kita saja sulit, memahami orang lain lagi tentu banyak ketidaktepatan dan tidak ada yang mencakup di dalamnya. Semuanya hanyalah tafsir atas jari yang kita tunjukkan ke bulan. Lebih parah lagi, kalau kita berdebat tentang jari yang menunjuk kepada bulan itu. Bukan kepada sesuatu yang ditunjuk oleh jari.

Berbagai macam tafsir atas Gus Dur terjadi karena banyak orang yang tidak paham dan mau memahami Gus Dur. Kecendrungan sebuah tafsir, selalu dipalingkan kepada kepentingan diri yang bernama ego (kepuasan diri). Kalau ada seseorang yang sulit kita pahami, yang muncul kemudian adalah stigma. Stigma sendiri memang terkadang menyakitkan bagi orang yang tidak berkesadaran tinggi. Namun tidak bagi Gus Dur. Ia tetap berjalan dengan gagasannya yang tak terpahami bahkan tidak boleh untuk dipahami oleh sebagaian orang. Hingga akhir hayat, beliau tetap konsisten dengan pembelaannya terhadap kaum lemah tanpa melihat label-label agama atau apapun lah namanya. Karena nabi Isa sendiri dipancung oleh orang-orang yang mengaku beragama paling benar. Al-Hallaj juga dipancung oleh orang beragama. Siti Jenar juga demikian ceritanya.

Manusia bagi Gus Dur lebih penting dari lebel apapun bahkan lebel ‘agama’ sekalipun. Tentu hal ini menGusik banyak kaum beragama dan agamawan. Gagasannya dianggap membela orang di luar Islam. Banyak dari kalangan kyai sendiri menentangnya. Hanya karena beliau adalah cucu khadratus syeh Hasyim As’ari lah, para kyai tidak berani berkomentar lebih jauh. Kyai As’ad Situbondo pun memilih mufaroqoh (sebuah istilah dalam shalat dimana makmum memisahkan diri dari imam karena melihat imam batal atau si makmum sendiri ingin segera keluar dari shalat) dengan Gus Dur waktu Gus Dur menjabat ketua tanfidiyah di organisasi NU.

Ya memang Gus Dur dilahirkan di kalangan Nahdiyyin yang pemikirannya melampui kaum nahdiyyin pada umumya. Sejak lahir ia sudah NU. Ada cap NU didada beliau. Rasanya kalau beliau mau keluar dari NU kok seperti memasukkan gajah di lobang jarum. Ada kelakar dari kawan-kawan di depok waktu itu, ketika Gus Dur menjadi presiden, banyak yang mengaku bahwa dirinya adalah NU. Kita-kita ini justru mau keluar dari NU sudah sulit. Karena begitu lahir sudah dicap sebagai orang NU, ujar seorang kawan. Kami semua tertawa mendengar kelakar itu.

Karena pemikirannya yang melampui warganya sendiri itulah, Gus Dur mengatakan bahwa kalau orang-orang melihat NU melalui jendela dirinya, maka orang salah besar. Saya waktu membaca wawancara Gus Dur waktu itu tidak begitu mengerti ucapan Gus Dur. Akhirnya saya mengerti bahwa kebanyakan warga NU hanya mengamini saja gagasan-gagasan beliau karena menganggap bahwa Gus Dur adalah cucu pendiri NU. Walaupun tidak mengerti gagasannya, banyak warga NU percaya bahwa ucapan Gus Dur pasti ada maksud yang tidak diketahui oleh kebanyakan warga nahdiyyin. Gus Dur tetap saja berjalan sendirian tanpa teman. Ia hidup dalam kesepian ide-ide seperti kebanyakan para utusan tuhan yang kesepian. Kadang manusia tidak kuat menahan rasa kesepian. Sehingga manusia enggan untuk terus-menerus mencari kejernihan kebenaran yang kadangkala penuh dengan kesepian dan tidak diminati oleh orang kebanyakan.

Tapi itulah Gus Dur. Dengan segala keunikannya, dia berjalan terus tanpa peduli akan dicaci banyak orang. Dia juga tidak banyak terpengaruh ketika orang banyak memujinya. Memang kalau dipikir lebih sadar, tidak ada untungnya juga dipuji orang lain. Begitu pun sebaliknya, kita tidak akan rugi bila dicaci maki orang lain. Pujian dan cacian hanyalah laskar tuhan untuk memancing ego kita untuk keluar dari jalan kebenaran. Beliau terus-menerus menjalani hidup yang penuh dengan gelora dan tantangan.

Menjalani hidup demikian, membutuhkan keberanian. Tidak banyak orang mampu melakukan. Ada sebuah ungkapan bijak yang perlu kita semua renungkan: mutiara ada di dalam lautan. Untuk menemukan mutiara, seseorang harus menyelam. Di dalam lautan banyak sekali rahasia yang akan kita temukan. Namun bahaya juga bisa datang tak diduga-duga sebelumnya. Namun disitulah tempatnya segala rahasia. Kalau mau aman, hidup di daratan saja”.

Keamanan dan kenyamanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang hanya mencari aman. Orang macam ini tidak akan pernah menemukan mutiara. Semoga kita berani menjalani hidup dan mampu berkata ‘Ya’ kepada dunia. Selamat jalan Gus. Selamat menikmati masa-masa pensiunmu.